9

78 13 0
                                    


Ane membuka mata dari tidur lelapnya. Ia menghirup udara sebanyak-banyaknya setelah terduduk. Ia berpikir bahwa ia harus menceritakan semuanya pada Ingren agar kondisinya semakin membaik. Ia merapikan rambutnya dan mencuci wajahnya.

Ane pergi keruangan Ingren untuk menemui dokter psikiaternya itu. Ia harus sembuh, secepatnya.

"Iya, Ane. Silakan duduk disini." sambut Ingren sembari menyuruh Ane untuk duduk di hadapannya. Ane mengikuti intruksi dari orang yang sudah mulai ia percaya itu.

"Ceritakan semuanya, Ane. Apapun itu, yang mengganggu perasaanmu." ucap Ingren dengan tulus. Melihat Ane yang kini menundukkan kepala lalu menarik nafas panjang.

"Maukah, kamu berjanji pada saya?" tanya Ane dengan wajahnya yang tampak sedikit khawatir.

"Tentu. Saya pintar menjaga rahasia." kata Ingren setelah menganggukkan kepala beberapa kali.

"Sebenarnya...ini bukanlah hal yang pantas diceritakan, bukan? Hidupku memang tidak terlalu enak untuk disebarluaskan karena...sepantasnya hidup harus membahagiakan. Tapi nyatanya, hidup tidak terlalu adil padaku." kata Ane masih dengan tatapan menerawang tentang masa lalunya. Kini rasanya ia akan mulai bercerita.

________#FlashbackOn____________

Hidup memang tidak adil bagi sebagian orang yang menderita diperjalanan hidup mereka. Contohnya gadis ini. Hari ini ia masih duduk di meja taman sekolahnya.

"Ne! Gue mau ngomong sama lo!" sergah perempuan berkacamata kepada Ane. Gadis itu adalah teman dekatnya. Setidaknya dari beberapa orang disekolah yang Ane kenal. Sista namanya. Dulu mereka memang sempat dekat, tapi sekarang menjauh karena satu laki laki, Roydan.

"Tega kamu ya!" teriak Sista kepada Ane yang jelas tau arah pembicaraan mereka kemana. Ane tau Sista akan marah karena kemarin Roydan mengajak Ane ke hotelnya dengan alasan Ane sedang membantunya membuat tugas. Untung saja Ane masih Ane yang utuh tanpa luka fisik apapun, hanya luka mental yang ia tanggung karena Roydan mencoba mengganggunya kemarin.

"Ini apa?!! Apa!! " hentak Sista sambil menunjukkan lembaran foto yang tergambarkan wajah Ane dan Roydan yang sedang berpelukan.

Astaga! Jadi saat Roy memaksa Ane kemarin ia memotretnya. Hati Ane ngilu saat mendapati bahwa memang dirinyalah yang terdapat di foto itu. Hanya saja tampilannya sedikit berbeda dengan yang kemarin ia alami. Hasil foto dan kenyataan itu memang sangat berbeda.

"Kamu salah paham." ucap Ane datar. Wajahnya sedang menunduk.

"Salah paham gimana?! Lo tu ya! Udah ketahuan pakek ngelak gitu! Emang lo anggep gue apa ?! Lo tu udah terkenal sebagai perusak hubungan orang, Ne!! Lo ngerti gak sih perasaan guee?!!" teriak temannya itu dengan tangisan yang mengundang perhatian siswa lainnya.

"Aku gak salah. Roy menggangguku kemarin. Aku mau jelasin sama kamu.." jelasnya terhenti karena tamparan tepat di pipinya.

"Tega lo sama gue, Ne. Gue lebih percaya sama Roy yang bilang lo menggodanya, daripada gue harus percaya sama wanita murahan kayak lo." seru Sista ditengah-tengah tangisnya.

Sista meninggalkan Ane yang mulai menangis karena apa yang dikatakan oleh temannya itu. Ane melihat kerumunan siswa lainnya yang sedang membicarakan tentangnya. Ane berlari meninggalkan semua orang yang sedang memperhatikan dirinya dengan tatapan sinis. Ia rasa tidak ada tempat yang berlaku baginya lagi.

Saat langkahnya ia percepat sebuah tangan mencegat gerakan nya tersebut. Hinsen. Laki laki itu menarik kasar tubuh wanita yang tentunya ia anggap ringan.
Mulut Ane ia tutup kuat-kuat. Hinsen membawa Ane keperpustakaan.

"Jangan sentuh aku! Atau kubunuh kau nanti! " teriak Ane.
"Lepaskan aku, brengsek!" Ane berusaha berteriak sekencang-kencangnya.

Seorang guru datang dari arah pintu. Mungkin ia mendengar teriakan Ane. Tapi kesalahpahaman yang telah guru laki laki itu tangkap dari kejadian itu. Ane dan Hinsen dibawa ke ruangan kepala sekolah.

"Apa yang kalian lakukan, sungguh tidak bermoral! Kau anak dari kepala yayasan sekolah ini Hinsen! Dan kau melakukan hal seperti itu di sekolah ini,? Sangat memalukan!" tegas kepala sekolahnya itu.

"Sudahlah pak. Jangan perpanjang masalah ini. Lagipula kami saling mencintai. Apa salahnya." seru Hinsen datar.

"Aku tidak menyukaimu. Katakan yang sebenarnya, atau aku lapor polisi." sergah Ane dengan penuh kebencian.

"Nona Teherika, ini surat untuk walimu. Besok datangkan walimu untuk pembahasan masalah ini tanpa jalur hukum. Nona, maafkan anak saya ya. Saya mohon." kata kepala yayasan yang kebetulan menghadiri rapat kecil itu.

"Nggak. Semudah itu kau bilang?" seru Ane setengah berteriak. Air matanya masih ia bendung. Ia tidak menyangka bahwa keputusan yang ia terima saat ini adalah keputusan seorang ayah, bukan keputusan seorang kepala yayasan semestinya.

"Kalau begitu, panggil orang tuamu besok, Nona." sahut kepala sekolah kepada Ane. Dengan kasar Ane membanting vas bunga dihadapannya, kemudian meninggalkan ruangan itu secepatnya. Ia tidak peduli dengan semua aturan lagi. Dia mengambil tasnya lalu bergegas menuju rumahnya.

***

"Kau anakku? Bahkan saat ini aku malu mengakuinya. Dasar bodoh!" seru Baran melihat isi surat panggilan orang tua yang tertuju padanya.

"Kau mau mempermalukan keluarga kita, Ane? Kenapa? Apa salah ayahmu?" sambung Nerima lagi.

"Kalian tidak mengerti yang sebenarnya. Itu apa yang ditulis oleh kepala sekolah. Dan bukan keterangan yang sebenarnya dariku. Ayah.. Dengarr penjelasan Ane sebentar saja ya." pinta Ane kepada Baran dengan air matanya yang sudah mengalir sejak tadi.

"Nggak! Nggak bisa. Kamu sudah mempermalukanku. Kau sama saja dengan ibumu, selalu mempermalukan orang lain yang tidak bersalah." bantah Baran lagi dengan amarahnya yang belum surut sedari tadi.

"Tapi Ane gak salah, Ayah. Ane gak bermaksud untuk mempermalukan siapapun." pinta Ane kepada ayahnya.

"Oma. Ane gak salah, Oma. Ane tau Oma pasti percaya sama Ane." ucapnya kepada sang nenek yang memilih untuk diam.

"Kakekmu pasti sedih sekali jika tau apa yang kamu lakukan itu." jawab Oma Ren sekilas.

"Tuan!! " jerit seorang pembantu dari arah belakang ruang keluarga. Semua orang berlari menuju asal suara. Terlihat kakek Ane sedang tersengal di kursi roda. Seperti dadanya tengah mengalami suasana yang amat sesak.

"Saya sudah mencoba membawa Tuan ke kamarnya nyonya. Tapi ia menolak dan mendengar semua yang kalian bicarakan, tapi tiba-tiba Tuan seperti ini, Nyonya." seru pembantu kakek sambil menangis. Namun dalam sekejap kakek Ane berhenti tersenggal,namun saat Baran mengecek denyut nadinya, setelah beberapa kali memeriksanya, nadinya sama sekali sudah tidak berdetak.

"Kakek....kakek, jangan tingalin Ane. Kakekk..." suara Ane berpadu dengan tangis yang sangat pedih.

Bersambung....

Hay readers🤗
Maaf ya karena update nya lama lama, karena saya harus update pakek wifi, jadi saya harus ke warnet gitu😅

Kemarin saya ada hari raya Galungan, jadi semuanya serba sibuk,
Sekali lagi maaf ya✌
Ceritanya akan selalu saya usahakan untuk selalu update kok, tenang aja😂

Maaf atas kekurangan part atau typo yang masih bertebaran.
Sampai jumpa di part berikutnya teman😘💕
Jangan lupa vote ya💓

Selamat hari raya suci Galungan dan Kuningan untuk umat Hindu semuanya🙏

MENDUNG | END ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang