15

83 10 3
                                    


Aroma caramel memenuhi ruangan yang bernuansa putih hijau itu. Sebuah cafe kecil yang berada di pinggir jalanan kota yang hari ini sedang gerimis.

"Udahlah..kalau suka yaaa..bilang aja kali. Lagian gue setuju kok, kalau orang aneh sama orang gila." ledek Gandhi untuk sahabatnya itu.

"Lo tu ya! Kalau ngomong di kontrol dikit kenapa sih?!" bentak Al yang dibalas tawa Gandhi.

"Ekspresi lo tu yang kontrol! Gue mah bebas ajaa kalee!" Gandhi yang kini sedang menyeruput dreamcofee spesial buatan Al.

Al memandangi gerimis kecil di depan ruangan miliknya itu. Tempat yang ia huni semenjak 3 tahun yang lalu. Tempat yang setiap harinya dikunjungi sebagai tempat peristirahatan. Cafe kecil dengan bunga-bunga yang berjejer rapi di bagian depan.

"Kapan lo mau anter bunga bunga itu?" tanya Gandhi pada Al  dan berhasil membuat laki-laki itu terkejut.

"Lo tu ya! Heh..
Gak tau gue dah, mungkin bentar lagi gue anter." jawab Al menetralkan mimik wajahnya.

Ia kembali berfikir, selama ini, dengan bersusah payah ia mengatasi kesendiriannya. Hingga gadis yang ia cintai datang, Tisya. Gadis dengan wajah manis dan lucu itu, mampu menghadirkan rasa bahagia di hidup Al yang meski pada akhirnya, luka itu menyambar dengan secepat kilat. Hubungan yang mereka jalani berakhir karena keegoisan gadis yang dulunya amat Al cintai.
Dan saat ia sudah hampir menjalani kehidupan seperti biasa, Tisya hadir, dan membawa  kenangan pahit itu. Kenangan yang lampau lalu menghidupkan cahaya di dalam hatinya.
Menjadi putra seorang pengusaha, membuat Al sadar, bahwa ia tidak pantas mengikuti jejak ayahnya. Menurutnya, seorang pengusaha hanya haus dengan harta dan melupakan orang orang yang mereka sayangi. Bedanya, sang ayah sangat menyayangi Al, meski sang ibu memutuskan untuk bersama Al melanjutkan hidupnya. Tentu saja tanpa seizin Al, sang ibu bercerai dan mendapatkan hak asuh putra semata wayannya itu.
Ia sudah belajar untuk tidak menggantungkan kebahagiaan dirinya kepada orang lain.

Al menyayangi keluarganya, hanya saja kedua orang tuanya tidak bisa mempertahankan keluarga karena urusan pekerjaan.

"Huh...bengong aja lo! Mendingan selesein tugas, goblok!" seru Gandi mengejutkan Al yang memang sedari tadi sedang memikirkan bagaimana kehidupannya.

"Udah beres kali! Tinggal gue anter aja nanti!" balas Al tak kalah sengit.

"Sensi amat lo! Udah tau kali!" lanjut Gandi, membuat tangan Al terangkat mengetuk jidat laki-laki yang juga tidak kalah tampan. Tapi, Gandi terlihat sedikit lebih ramah daripada Al yang memang berekspresi dingin.

Al mengambil helm dan bergegas mengantar bunga pelanggannya.
Al mengendarai motornya perlahan, menikmati semilir angin menerpa kulitnya. Angin pagi di kotanya memang seperti itu, dingin selepas gerimis. Tapi ia senang merasakan hawa kedamaian saat rasanya angin itu ingin membekukan indera perabanya.
Cocok sekali. Laki-laki dingin dan suka udara dingin.

Apakah ia akan mencintai wanita yang berwatak dingin juga? Ah tidak tau. Cinta dan perjalanannya tidak bisa kita tentukan, bukan?

                      ❤❤❤

"Mama...Jio tidak bisa seperti ini, aku..baik baik saja, maa." keluh Jio seperti rintihan.
Nafasnya serasa tersekat oleh sesuatu yang berusaha ia tahan, sebuah beban yang berusaha ia sembunyikan dari semua orang.

Sang ibu yang menyaksikannya hanya menangis. Ia tidak tau apa yang harus ia lakukan untuk putranya itu. Dylitha memegang erat tangan putranya yang sedari tadi memberontak karena dua infus menembus pembuluh darahnya.
Jio berusaha mengatakan pada sang ibu bahwa ia baik-baik saja, meski cairan kental berwarna merah terus mengalir dari hidungnya.

MENDUNG | END ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang