"Sabarlah,Ingren. Sebentar lagi Ane akan mulai membaik." ucapnya dalam hati.
Ane mengatupkan matanya yang kini mulai terasa mengantuk. Sudah hampir 6 bulan dia berada di rumah sakit gila ini, dan ia rasa dengan sesaat kehadiran Ingren ia sudah lebih tenang dari sebelumnya. Mungkin Ane merasa bahwa jika ia membagi penderitaannya akan lebih baik daripada ia simpan dan melukai hidupnya. Tetapi penderitaan yang ia lalui seperti tidak pantas ia ceritakan. Penderitaan akan luka hatinya kepada seorang laki laki yang ia kira sangat mencintainya. Selama enam bulan pula ia berusaha merendam masa lalunya agar mungkin bisa ia terima dengan lapang dada.
Ia merindukan suasana rumah, meski ditempat itu ia diasingkan. Tapi setidaknya, dirumah ia akan bebas melakukan apapun yang inginkan. Disini ia bebas, hanya saja statusnya adalah orang gila yang harus sembuh,tentunya ada beberapa batasan bagi mereka yang menjadi seorang pasien.
Kembali lagi ingatan buruk tentang kejadian di masa lalu membayang dalam otaknya. Seperti runtutan putaran film, dalam ingatnya, tentang masa lalu yang menghancurkan hatinya setiap saat.
#FlashbackOn
Hari ini merupakan hari bahagianya, karena pada saat ini umurnya menginjak 17 tahun. Selama itu pula sang ayah masih saja mendiamkan putrinya yang semakin hari semakin merasakan kurang kasih sayang.
Baran sudah menikah satu tahun setelah kematian Arin. Ia menikah dengan seorang wanita kaya raya dengan banyak aset villa yang ia miliki. Bahkan di istri baru ayahnya itu punya sebuah rumah makan di Pulau Dewata Bali. Tapi tentu saja yang namanya ibu tiri tidak selalu mengutamakan anak yang bukan ia kandung di dalam rahimnya.
"Ane. Selamat ulang tahun ya. Bunda berangkat dulu." ucap Nerima singkat yang mengakui diri sebagai bunda baru Ane.
Ane hanya diam di meja makan. Ia hanya sarapan sendiri. Sedangkan kakek dan Oma Ren sarapan di kamar mereka. Entah kenapa semenjak kematian sang ibu ia hanya merasakan rasa makanan sendiri tanpa kehadiran keluarganya. Perhatian Oma Ren pun sedikit berkurang terhadap Ane, mungkin karena seluruh keluarganya mengira Ane yang membunuh ibunya. Karena ketika ditanya oleh banyak orang Ane hanya bungkam dengan kematian bundanya. Dia tidak menjawab bagaimana sebenarnya derita yang dialami Arin. Mungkin anak itu berusaha melupakan kenangan itu dengan tidak membahas terang-terangan kematian wanita yang amat ia cintai itu.
"Bik Ocik! Ane boleh minta tolong gak?" panggil Ane kepada wanita paruh baya yang selama 9 tahun bekerja di rumahnya.
"Iya non. Minta tolong apa?." tanya bi ocik dengan rendah kepada nyonya mudanya itu.
Ane menarik tangan bi ocik untuk duduk di sebelahnya.
"Bi, temenin Ane makan ya. Bibi belum makan kan? Udah makan disini aja sama Ane. Kita panggil Ko Etah juga ya!" seru Ane dengan semangat.
"Gak usah, non. Nanti tuan liat, saya bisa dimarahin,non." tolak bi ocik kepada Ane.
"Apaan sih bik. Masa orang makan dimarahin. Lagian ayah udah berangkat, gak ada siapa-siapa disini. Oma juga dikamarnya, kan?" kata Ane sembari tersenyum pada asisten rumah tangganya itu.
"Ko! Sini deh!" panggil Ane kepada Ko Etah yang kebetulan lewat.
"Sini ya ko, temenin Ane makan." ajak Ane lagi kepada Ko Etah supirnya yang 5 tahun ini sudah bekerja juga pada keluarganya. Di banding Bi Ocik, Ko Etah lebih muda. Ko Etah lebih memilih mengikuti keinginan nyonya mudanya itu, karena ia mengerti sekarang Ane pasti sangat kesepian. Ane pun mengambilkan makanan kepada dua orang di sebelahnya itu, yang dibalas dengan senyum orang yang selama ini mungkin hanya mereka yang sering berbicara padanya.
"Sekarang ulang tahun Ane loh." seru Ane membuka interaksi. Dengan makanan yang masih berada di dalam mulutnya.
"Iya ya. Bi Ocik hampir aja lupa. Pantes aja, tadi bibi pikir kayaknya tanggal ini bibi kenal gitu. Dan sekarang bibi baru ngeh. Maaf ya." ucap Bi Ocik kemudian dibalas dengan senyum tulus Ane.
"Selamat ulang tahun ya,Non. Semoga panjang umur dan sehat selalu." tambah Bi Ocik lagi.
"Iya non. Selamat ulang tahun ya.Untung Koko inget, hehehehe. Walaupun sebenarnya koko hampir lupa juga." ucap Ko Etah tulus.
"Makasi bibi..Ko. Ane sayang deh sama bibi dan koko." senyum lebar Ane menampilkan gigi putihnya.
Begitulah memori kecil tentang hari ulang tahunnya yang dianggap sama sekali tidak berkesan.
Ane saat ini sudah memasuki Sekolah Menengah Atas. Ia memilih jurusan MIPa. Dimana jurusan itu yang terlintas di pikirannya. Ia sudah menjalani pendidikannya hampir tiga tahun,karena sekarang ia duduk dikelas XII. Ane terbilang siswi yang rajin dan pintar, walaupun keadaan keluarganya sangat runyam. Mungkin ia berhasil mewarisi salah satu kelebihan ayahnya yang dikatakan pintar dalam mengelola perusahaan.
"Ane, mau makan bareng kami gak?" tanya seorang dari lima orang lainnya pada Ane.
"Nggak." jawab Ane ketus. Yang sepertinya memicu kemarahan Nidia,orang yang menawarinya makan bareng.
"Eh lo ya! Belagu banget jadi orang! Dasar gak tau diri!" tuduh Nidia pada Ane, wanita yang katanya merebut pacarnya.
Ane hanya melanjutkan makannya tanpa memikirkan kata kata Nidia yang melengking mengundang perhatian siswa lain.
Dengan kesalnya Nidia melemparkan makanannya di kepada Ane. Namun Ane masih diam sambil menarik nafas panjang. Ane masih melanjutkan makannya yang sedikit berantakan karena tumpahan makanan Nidia.
Wanita berambut hitam pendek itu kemudian menarik rambut Ane yang masih berlagak santai.
"Lo ya!" teriak Nidia sambil melihat Ane yang tampak biasa saja. Tidak cukup itu, kemarahan Ane akhirnya sampai puncaknya ketika Nidia meludahinya.
Ane dengan nafasnya yang memburu mencekik leher jenjang Nidia erat. Wanita itu mengangkat tangan dari rambut Ane dan beralih ke tangan Ane yang mencekiknya semakin kuat. Teman Nidia juga tidak sanggup menghentikan aksi gila Ane.
Nidia mulai terbatuk karena kekurangan oksigen.
"Ane hentikan ne! Kamu mau membunuhnya! Hentikan Ane!" seru Bian kepada gadis yang ia cintai itu.
Ane tersadar dengan apa yang ia lakukan kemudian pergi dari kantin sejauh mungkin, membiarkan Nidia bersama kekasihnya Bian.
Ane munuju kamar mandi membersihkan diri. Lama ia kurung dirinya di dalam kamar mandi. Ia berusaha menahan tangisnya, tapi tangis itu menerobos kasar dari tempatnya dan memilih untuk runtuh.
"Jio, aku butuh kamu." kata Ane dalam isak tangisnya.
"Kamu bilang aku akan baik-baik saja kan? Tapi, lihat apa yang wanita itu lakukan padaku. Terlebih itu, kamu yang sangat menyakitiku Jio. Kamu gak ada saat aku benar benar merasa dijatuhkan." tangis Ane menyesakkan dadanya. Ane terus menangis sambil membersihkan rambutnya dengan air. Dia melihat pantulan wajahnya di cermin, sungguh menyedihkan. Ane kembali terisak, tapi kembali ia hapus air matanya dengan kasar.
"Aku harus kuat." batinnya.
Bersambung......
Semoga masih betah sama ceritanya yang belum jelas alurnya✌
Karena rencananya akan saya buat banyak konflik pada kehidupan sosok Ane .
Jadi readers! Harap sabar yaa 😄
Sampai jumpa🤗
KAMU SEDANG MEMBACA
MENDUNG | END ✔️
Jugendliteratur"Dia tidak tau apa itu cinta. Untuk itu ia butuh seseorang untuk menjelaskannya. Bukan cinta yang hanya sekedar singgah dan pergi dengan memaksa." Aku ingin merasakan damainya hujan. Bukan Mendung yang datang tanpa kepastian. Aku ingin hangatnya men...
