11

89 11 0
                                        

Air mata gadis itu mulai turun membasahi bola mata hingga ke pipi tirusnya. Ia menunduk. Baginya berat sekali menceritakan segala permasalahan yang ia alami kepada orang lain. Bukan karena takut dicela atau dihina, tapi takut untuk reaksi orang itu nanti salah paham akan kehidupannya.

" Dokter, bantu saya. Bantu saya keluar dari sini. Anda harus tau, ayah tidak akan mau mendengarkan saya. Saya mohon." pinta Ane menatap penuh harap pada dokternya, Ingren.

"Menurutku, kau hanya perlu terbuka pada orang yang kau sayangi,Ane. Kau bilang Oma Ren sangat sayang padamu,kan? Kenapa kau tidak katakan padanya tentang segalanya? Kau harus mampu mengatakan sebab dari perginya bundamu. Bagaimana temanmu memperlakukanmu disekolah. Semua penderitaan itu harus kau bagi, Ane." ucap Ingren sembari memegang tangan Ane, menyiratkan rasa iba yang amat dalam.

"Tidak menurutku. Mungkin sekilas Oma masih terlihat sayang padaku. Tapi, setelah kematian kakek, ia bahkan tak pernah memanggil namaku." jelas Ane, membenarkan pendapat Ingren.

Ingren menarik nafas panjang. Pasiennya yang satu ini sedang membutuhkan seseorang untuk mengisi kekosongan mentalnya. Ia pikir ia harus memulangkan Ane secepatnya, karena selama dua minggu ini, Ane sudah terlihat lebih baik.

"Ane. Dengarkan aku. Kau harus belajar mengendalikan perasaanmu, dengan itu, ayahmu akan percaya bahwa kau memang tidak sepantasnya di tempat ini." pesan Ingren kepada Ane yang tampak masih berekspresi sama seperti semula.

Ane mengangguk bertanda ia mengerti. Meski dalam hatinya ia terus berdoa, agar ia bisa cepat keluar dari tempat ini. Ia merasa kehidupannya sangat sempit untuk gadis seusianya.

                       ____

Ane merasa sedikit lega melihat wajah ayah dan omanya di hadapannya kini. Ayahnya masih sama, ekspresi dinginnya tidak pernah berubah sama sekali. Ia memperhatikan dua orang yang tak asing itu lekat lekat, mencari sebuah bentuk perhatian di mata mereka.

"Ayah..." lirih Ane namun terhentikan oleh Baran.
" Jangan katakan apapun." Baran menghentikan dengan mimik dingin.

Ane sudah diizinkan pulang untuk saat ini. Untuk itu Baran dan Oma Ren menjeput Ane, sebagai formalitas semata. Ane mengganti pakaiannya menjadi dress putih selutut berlengan panjang. Tidak ia lupa, sebuah hadiah kecil dari seseorang yang mulai meracau di alam pikirannya. Ane meninggalkan rumah sakit itu bersama kenangan pahitnya selama ia disana.

Ane memasuki mobil ayahnya dan memilih untuk duduk di bagian belakang untuk menjauh dari pengelihatan ayahnya. Mobil Baran melaju meninggalkan area rumah sakit menuju rumahnya.

Pandangan gadis itu tertuju pada situasi disekitar kota. Kota yang banyak berjejer gedung pencakar langit berlantai. Deru mobil para pekerja kantoran dan beberapa pemandangan kota seperti taman yang menyejukkan mata. Kotanya memang begitu indah, tapi setelah hampir 19 tahun hidup di dunia ia tidak pernah menginjakkan kakinya di segala penjuru kota. Mungkin rumah adalah salah satu tempat yang benar benar ia kenal selama itu.

Rumah megahnya sudah dapat ia lihat dari depan kaca mobil. Ane tersenyum senang, bahwa ia bisa kembali ke kamarnya lagi. Tidak ada gangguan sama sekali, hanya ada dirinya dan udara segar di dalam kamarnya.

"Kau sudah kembali? Selamat datang kembali, Putriku" seru Nerima sambil memeluk erat Ane. Ane pun membalas pelan pelukan ibu tirinya itu dan menambahkan sedikit senyum tipis kepada wanita yang sudah melepaskan pelukannya.

"Ane, semoga keadaanmu menjadi lebih baik setelah keluar dari rumah sakit jiwa. Bunda takut para tetangga akan mengucilkanmu karena kamu dulunya gila." ucap Nerima kepada Ane yang cukup terdengar sinis bagi Ane.

"Tidak akan, Ibu Nerima. Tidak akan ada yang mengucilkanku selama orang orang bisa menutup mulut mereka dari berita palsu yang mereka buat." balas Ane dengan nada halus namun cukup membuat Nerima tercekat.

Ane melangkahkan kakinya menuju kamar tercintanya. Ada rasa rindu yang ingin ia hempaskan dengan melihat setiap inci rumah. Ane merebahkan dirinya di kasur kesayangannya. Ia merasa sedikit lega karena ia sudah menceritakan semuanya kepada Ingren. Ia menutup matanya, karena rasa kantuk yang ia lawan sedari tadi di perjalanan.

Bersambung...

Hay readers yang setia💕
Maaf ya, dalam part ini kayaknya sedikit lebih pendek, karena gak tau kenapa males aja nulis gitu, kaya habis akal. Jadi temen² yang punya saran untuk cerita ini, tolong kasih sarannya di komentar ya❤

Maaf ya untuk perubahan yang selalu terjadi,
Terus ceritanya jadi kayak ngasal gini😢
Jangan lupa follow author ya,wkwk, nanti saya folback❤

Btw, Al nya kemana ya,kok belum nongol²🤔
Gausah khawatir ya.. Lanjut baca aja yaa..pasti ketemu kok sama cowok berhati dingin yang satu ini🤗

See you♥

MENDUNG | END ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang