Rumah bertingkat di sebuah perumahan mewah.Catnya yang terlihat baru,masih terulas dengan warna yang cerah. Namun,sepertinya keadaan didalamnya tidak secerah warna dindingnya.
"Aku gak gila!! Lepaskan akuu!!" teriak seorang gadis yang ditarik oleh dua laki-laki.
"Gak ada orang gila yang sadar dirinya gila! Bawa dia keluar cepat!" perintah lelaki paruh baya yang mengenakan pakaian formal dengan angkuh.
"Ayah..Ane gak gila ayah.." tangisan gadis itu sembari mencoba melepaskan diri. Dia terus meronta berusaha lepas dari dua petugas RS JIWA yang ingin membawanya pergi dari tempat kediamannya.
"Cepat Pak! Atau gunakan cara kekerasan untuk membawa gadis ini!" pekik Baran,yang merupakan ayah dari gadis yang dikiranya gila.
Kedua petugas RS menyeret cepat tubuh mungil tidak terlalu berisi itu. Sedangkan si gadis hanya meronta dan sesekali berteriak,yang semakin memperlihatkan bahwa dirinya memang sudah gila.
Mobil petugas melaju yang membawa si gadis ke rumah pengobatan. Si gadis diberikan biusan agar setidaknya ia mampu tenang untuk sementara.
Disisi lain sang Ayah duduk dengan memijat kepalanya di sebuah sofa dan ditemani beberapa anggota keluarganya.
"Kau tidak pantas melakukan itu pada cucuku,Baran." seru wanita tua dengan datar namun raut wajahnya menggambarkan kesedihan.
"Tidak ada cara lain,Bu." sahut Nerima yang merupakan istri dari Baran yang tampak tenang saja.
"Tidak ada cara lain? Kupikir pikiran kalian terlalu dangkal dengan berfikir tidak ada cara lain. Dia anakmu Baran. Jika kau tidak memikirkan perasaanmu,pikirkan perasaanku." tentang Oma Ren lagi dengan sedikit panjang dan nada yang sedikit bergetar.
"Memang tidak ada cara lain untuk mengurus orang gila,Ibu. Dua hari lalu dia mencoba kabur dari rumah,lalu kemarin dia mencoba membunuh Ibunya. Kupikir tidak akan ada cara lain selain mengirimnya ke rumah sakit jiwa. " jawab Baran dengan tangan yang sibuk menyelesaikan berkas kantornya.
"Ibu tidak tau, alasan khusus apa yang membuatmu tega melakukan ini pada Ane,anakmu. Tapi menurutku dia tidak gila. Dia hanya sedikit stress untuk beberapa hal." pendapat Oma Ren yang tampak menunduk sedih,mengingat betapa kecewa dirinya karena merasa gagal melindungi cucu satu-satunya.
"Sudahlah,Ibu. Jika kau yang akan dibunuh kemarin,mungkin kau juga harus merasa cepat cepat mengirimnya ke rumah sakit jiwa, seperti kami." jawab Nerima lalu berdiri dan mengambil beberapa surat surat.
"Ya. Karena kau seorang Ibu tiri,maka dari itu kau sedikit tega membenarkan keputusan suamimu. Ya kan? " sindir Oma Ren terhadap pendapat Nerima yang sedikit kurang sopan kepada seorang mertua.
Kemudian Oma Ren meninggalkan pasangan suami istri yang tengah terpaku dengan kalimat terakhirnya tadi. Oma Ren rasa ia harus terbiasa juga berkata kasar pada menantu keduanya itu.
Baran dan Nerima masih saja sibuk dengan pekerjaan mereka. Mereka sama sekali tidak peduli dengan nasib anak mereka di luar sana. Yang kini Ane pun tersadar dari obat yang sejam lalu disuntikkan oleh petugas rumah sakit.
"Dimana aku?" mata coklat hazel didampingi bulu mata yang tumbuh lebat namun tidak terlalu lentik itu terbuka dan menelusuri setiap inci tempat ia berada kini.
"Tenang nona Ane." Sahut seorang perempuan yang tidak terlalu muda namun tidak terlalu tua juga. Perempuan itu tersenyum sambil memberikan air kepada Ane.
"Kamu di rumah sakit. Tenang aja,kamu aman kok disini. Lagipula,anggap saja saya sebagai orang terdekatmu ya." Senyum kembali merekah di pipi seorang psikiater muda itu,menampilakan gigi putihnya yang terjejer rapi.
"Tapi aku gak gila." terang Ane sambil menahan air matanya yang terbendung sempurna.
"Siapa yang bilang kamu gila? Saya tidak bilang kamu gila kan?" tanya dokter dengan senyum yang masih merekat tanpa lepas dari bibir tipisnya.
"Sudah. Kalau kamu mau cerita,nanti ceritakan segala keluhanmu padaku. Tapi sekarang lebih baik kamu istirahat dulu ya." dengan lembut ia merebahkan tubuh Ane ke ranjang. Namun Ane masih sibuk dengan pikirannya sendiri. Hingga dokter cantik itu keluar dari kamar pasien VVIP di Rumah Sakit Jiwa "Candra Gerhamahdani".
"Aku nggak gila. Bunda, Ane nggak gila." isak Ane menutup mulutnya.
Tangisnya tak mungkin lagi bisa ia bendung. Bagaimana tidak? Seorang ayah tanpa mengetahui apapun tentang putrinya itu,dengan tega memasukkannya di tempat yang sama sekali tidak ada dalam pikiran Ane. Bahkan ayahnya tidak tau alasan apapun yang membuatnya terjatuh dalam keadaan buruk ini. Tidak untuk mengerti alasan Ane,bahkan Baran sama sekali tidak pernah menanyakan keadaan putri dari istri pertamanya itu.
Bunda Ane meninggalkan Ane sewaktu ia berumur 10 tahun. Ane mengerti bahwa keinginan sang Ibu untuk bahagia dengan tidak disisi ayahnya merupakan hak sepenuhnya milik Arin,Sang Bunda. Namun keiklasannya sama sekali tidak didukung oleh kasih sayang Ayahnya.
Ia tidak tau apakah masih ada yang tersisa miliknya untuk disyukuri.
Bersambung...
Hay reader🤗
Sebelumnya makasi banyak ya, udah mau baca cerita 'Ngasal' dari karya pertama saya 🙏
Saya harap para pembaca masih minat dengan kelanjutan ceritanya. Makasi banyak ya.
Jangan lupa "klik" tanda bintang di sebelah pojok kiri bawah ya 😊
Jangan lupa juga tekan "ikuti"
Maaf atas typo yang masih bertebaran gak jelas. Karena ini untuk pertama kalinya saya menulis dengan keyboard dengan panjang lebar bgt.
Untuk semuanya,Makasi🤗
Salam kenal dr Bali🙏
KAMU SEDANG MEMBACA
MENDUNG | END ✔️
Novela Juvenil"Dia tidak tau apa itu cinta. Untuk itu ia butuh seseorang untuk menjelaskannya. Bukan cinta yang hanya sekedar singgah dan pergi dengan memaksa." Aku ingin merasakan damainya hujan. Bukan Mendung yang datang tanpa kepastian. Aku ingin hangatnya men...
