24

64 5 0
                                        


"Pegangan yang kuat." titah Al kepada Ane yang perlahan menaiki sepeda dibagian belakang.

Tangan Ane mengulur memegang erat baju bagian pinggang Al. Ia masih canggung, tapi ia sedang berusaha untuk menghilangkan rasa itu.
Dua jam lalu mereka sedang memesan berbagai macam bunga untuk di mereka bawa ke cafe. Kini mereka dengan damainya menyusuri jalanan basah kota. Tadi memang gerimis turun sekitar tiga puluh menit kemudian digantikan dengan udara dingin datang setelah gerimis itu pergi.

"Kamu gak kedinginan kan?" tanya Al.

Ane menggeleng. "Sedikit."

Al menarik tangan Ane agar semakin melingkar di pinggangnya. Ia mengusap-usap tangan Ane agar lebih terasa hangat.

Gadis itu sedang tersenyum mendapati dirinya diperlakukan demikian. Dinginnya udara hampir tidak terasa karena aliran hangat yang tersalur dari tangan Al menuju hatinya.

"Masih jauh?" Ane kini membuka mulut.

"Sedikit lagi."

Sepeda Al terparkir sempurna di halaman depan dreamsee. Keduanya turun dan masuk kedalam ruangan yang sudah tidak asing lagi bagi mereka.

"Maafkan aku. Aku membuatmu kedinginan." seru Al lembut.

"Hm..tidak masalah. Lagipula kamu juga..pasti kedinginan."

"Tunggu sebentar, aku buatkan minuman hangat."

Ane mengangguk dan memilih untuk duduk dibagian pojok. Ia memangku dagunya dengan tangan kiri sembari memandangi Al yang sedang membuat minuman untuknya. Ane baru sadar ternyata dibalik wajah dingin itu Al memang lahir dengan wajah tampan. Senyuman lembut miliknya, seakan meluluhkan tiap perkara yang ada di hati seorang gadis penuh luka seperti Ane. Bagaimana tidak? Al tersenyum bukankah hal yang langka? Dan kelangkaan itu Ane sudah menyaksikannya banyak kali.

"Kamu melamun." ujar Al mengejutkan gadis yang tengah sumringah dihadapannya.

"Mm..maafkan aku." ucap Ane cengengesan.

Al hanya tersenyum heran melihat ekspresi Ane yang tampak ketahuan mencuri. Lebih tepatnya mencuri-curi pandang.

"Kamu tau? Banyak tempat yang ingin aku kunjungi." ujar Ane kemudian, setelah Al duduk mendampinginya.

"Contohnya?" antusias Al.

"Kebun teh. Dulu, bunda pernah menjanjikannya padaku."

"Lalu? Apa kamu tidak jadi kesana?"

Ekspresi Ane berubah menjadi pias. Ia menguatkan hatinya untuk berani mengeluarkan kata-katanya. "Hm..bundaku sudah tidak ada."

Al sedikit terkejut, tapi cepat ia netralkan keterkejutannya itu. "Maafkan aku. Aku benar-benar tidak bermaksud."

Ane tertawa kecil. "Jangan seperti itu. Aku baik-baik saja."
Al tersenyum kepada gadis yang ia tau sedang terluka ini.

"Kalau kamu punya masalah, aku tidak keberatan jika kamu ingin membaginya." tawar Al, ia heran kepada dirinya yang langsung berubah ramah dihadapan Ane.

Ane tersenyum, lebih ke terharu. Karena saat seperti itu benar-benar mengingatkannya pada sosok sahabat terbaiknya dulu.

"Terimakasih untukmu lagi."

"Berhentilah mengatakan itu. Kau membuatku terlihat baik sekali." Al sambil menyembunyikan malu.

"Kamu memang baikkan?"

"Hati-hati denganku."

Ane menatap lekat Al mencoba mencari kebohongan disana. "Memangnya kenapa?"

MENDUNG | END ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang