"Dia tidak tau apa itu cinta. Untuk itu ia butuh seseorang untuk menjelaskannya. Bukan cinta yang hanya sekedar singgah dan pergi dengan memaksa."
Aku ingin merasakan damainya hujan.
Bukan Mendung yang datang tanpa kepastian.
Aku ingin hangatnya men...
"Wahhhh!! Ini indah sekali!" jerit Ane tertahan. Yang ada dihadapannya kali ini adalah sebuah kebun berbagai macam bunga. Matanya berbinar dan bibirnya tak henti-henti berdecak kagum. Ini pertama kali baginya untuk menyaksikan keindahan yang begitu nyata.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Ini pertama kalinya untukmu?" tanya Al melihat Ane yang masih kagum. Pertanyaan itu hanya dibalas anggukan kecil gadis itu. "Kenapa? Pemerintah kota sudah membuatnya hampir setahun." tambahnya.
"Mmm...sebenarnya, aku sudah melihatnya di sosial media, tapi saat dilihat nyata, ini...benar-benar menakjubkan." senyum itu masih terlukis di wajah Ane.
Al hanya bisa menatap mimik wajah Ane lekat. Ia mengerti bahwa ia sudah membuat gadis itu bahagia hari ini. Sesuatu yang aneh mendesir di hatinya, seperti perasaan damai ketika melihat gadis itu tampak bersinar dengan senyuman yang begitu menampakkan kecantikannya. Ia harus mengakui itu, bahwa Ane sangat cantik. Sambil menyesuaikan langkah keduanya yang menyusuri kebun itu, Al menahan debaran aneh di dadanya.
"Kamu sering kesini?"
Al terkesiap dan segera membalas pertanyaan mendadak Ane. "Tidak terlalu sering. Hanya seminggu sekali."
"Untuk apa?" tanyanya lagi sambil menatap lawan bicaranya sejenak.
Al membenahi letak topi hitamnya. "Aku membeli bunga disini, untuk aku bawa ke dreamsse."
Bibir Ane membulat sambil mengangguk. "Mm...kalau begitu, ajak saja aku untuk membeli bunga."
"Boleh saja. Asal tidak merepotkan."
"Tentu tidak." jawab Ane mantap.
Al tersenyum singkat, takut gadis itu menyadari senyuman itu.
"Kenapa kamu tidak kuliah?" Ane bertanya sambil menyentuh kecil bunga berwarna kuning.
Al memikirkan kembali jawaban yang tepat. "Mm...karna, aku tidak mau menghabiskan waktu untuk hal-hal bodoh."
Ane menegakkan badannya setelah mendengar pernyataan Al. "Hal bodoh? Mm..kamu sebut kuliah hal bodoh?
Al mengangkat bahu. "Yaa...kau tanya alasanku. Dan itu itulah alasanku."
Mereka melanjutkan langkah lagi. Masih diam sebelum akhirnya Al membuka percakapan lagi.
"Kau sendiri, kenapa tidak kuliah?"
Pertanyaan itu membuat Ane berpikir kali ini. Benar juga, kenapa ia tidak kuliah? Tapi sebelum itu ia kehilangan satu semesternya di sekolah menengah atas, karena tuduhan gila ayahnya itu. Tapi mengingat-ingat dirinya yang selalu menjadi sasaran kesalahan teman-temannya, akan lebih baik ia diam dirumah saja.
"A-aku, sebenarnya..." Ane menggantungkan kalimatnya. Takut Al nanti berpikir buruk jika ia mengatakan bahwa ia tidak mengikuti ujian akhir di SMA.