12

92 11 0
                                    


Semilir angin menerpa keras rambut laki-laki yang kini tengah termenung di sebuah toko yang terpajang berbagai jenis bunga.
Ia masih kelihatan muda tapi raut wajah dinginnya menunjukkan seberapa dewasa wajahnya saat itu. Bahkan mungkin orang-orang mengira ia tidak pernah tersenyum karena ekspresinya yang begitu kaku.

Ia menuliskan beberapa kalimat yang tidak dapat terbaca isinya dalam sebuah kertas. Mungkin sang pria sengaja agar tidak ada yang melihat tulisan berahasia miliknya.

"Al." panggil seorang teman kepada lelaki yang masih menulis itu. Merasa dipanggil orang itu menoleh kearah temannya Gandi.

"Kenapa?" suara khas itu menyaut dengan mata yang sudah tidak tertuju kepada sang pemanggil.

"Apa lo gak berusaha mencari wanita gila itu? Lo tau kan? Gue bisa membantumu lewat kakak gue." balas temannya menawarkan bantuan.

"Tidak usah." jawabnya ketus.
"Heii..ada apa dengan diri lo itu? Gak jaman kali jual mahal! Lo tu kan cowok man!" seringai temannya itu.

"Aku tidak mau berurusan dengan orang gila." jawabnya kembali ketus.
"Heh! Gue percaya dia tidak gila. Buktinya dia tau bagaimana cara menghadapi laki-laki dingin kayak lo!" ejek Gandi kembali.

"Baguslah kalau begitu." terangnya singkat.
"Bagus apanya?" tanya Gandi tidak paham dengan maksud temannya itu.

"Gue akan tanya aja sama kakak gue. Ternyata beruntung banget punya kakak bekerja di rumah sakit jiwa." kata Gandi dengan tawa tipis.

"Heiii.. Lo harusnya tau, semua rahasia klien tidak boleh dibocorkan kepada siapapun oleh seorang Psikiater seperti kakak Lo!" sergah Al sedikit membenarkan pola pikir sahabatnya yang merupakan adik dari Dokter Ingren Madya.

Al masih terus berfikir tentang gadis yang ia temui beberapa kali itu. Saat di jalan tengah malam dan saat natal di rumah sakit jiwa.
Waktu itu, Al datang kerumah sakit jiwa untuk menengok seorang nenek sambil mengantar Gandi bertemu sang kakak. Entah kenapa ia malah bertemu gadis yang sempat juga ia lihat malam hari beberapa minggu sebelumnya.

Menurutnya, tidak adil rasanya bila seorang gadis secantik itu bisa gila. Tapi kembali ia tepis pemikiran itu, karena sebenarnya yang namanya penyakit tidak memandang bagaimana rupa orang yang akan terjangkit. Begitulah menurut pria berhidung mancung itu.

"Al." suara seorang gadis memanggil Al yang kini sudah memandangnya sinis. Gandi mengerti situasi keduanya, untuk itu ia sengaja meninggalkan mereka untuk berbicara.

"Maafin aku." wanita dengan tubuh langsing yang dibalut dress selutut itu duduk menghadap Al. Al masih duduk sambil memasang topi hitam untuk menghindari kontak mata dengan Tisya, nama gadis itu.

Tisya masih menatap pergerakan Al yang jelas sangat menghindarinya.

"Setidaknya kamu bisa menghargai orang yang berbicara padamu." ucap Tisya berusaha membenahi keadaan mereka.
Gadis bermata beloh itu adalah kekasih Al yang melarikan diri. Melarikan diri ke London untuk mengejar impian yang saat ini sudah diraihnya. Impian itulah yang merebut Tisya darinya, dengan membiarkan neneknya terlantar dan menjadi gila.

"Kau sudah pulang?" tanya Al ketus.
Tisya tersenyum mendengar laki-laki itu membuka suasana.
"Iya. Maaf, aku tidak mengatakannya waktu itu. Percayalah, hal-hal yang kulalui disana sangat sulit Al." jelas Tisya memohon pengertian pada Al yang menurutnya masih berstatus kekasihnya.

Al tersenyum kecut lalu mengisap kopi di hadapannya.
"Sulit katamu. Lebih sulit dari nenekmu?" tanyanya kembali sinis.
"Ya aku tau, aku salah. Aku meninggalkan nenek dan dirimu tanpa pamit." jawabnya menunduk.

"Bukan hanya meninggalkannya! Tapi karna impian bodohmu itu! Dia kehilangan keceriaannya! Dia tidak peduli berapa uang yang kamu larikan untuk pergi kesana, tapi ia hanya peduli pada cucunya yang egois! " seru Al setelah menggebrak meja. Tisya yang mendengarnya hanya bisa menahan tangisnya.

MENDUNG | END ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang