21

68 6 0
                                    

"Singkat saat kita menikmati. Cepat saat kita merasa puas. Dan tak terasa saat kita bahagia. Sang waktu." -kalamendung

Sore yang indah. Sinar jingga sang surya menerobos masuk ke ventilasi kamar Anelya. Berkali-kali ia mengumpat dirinya yang bodoh.

"Dia ayahku." kata yang terucap darinya ketika Al bertanya ada apa dengan dirinya yang tiba-tiba berlari saja meninggalkannya di tempat pelanggan pagi tadi.

Ane merasa bodoh mengakui kekolotannya itu. Tapi pengakuan itu meluncur tanpa penghambat dari mulutnya. Ya sudahlah, itu memang kebenaran. Begitulah caranya ia menenangkan hatinya.

Ane menggigit bibir bawahnya. Berpikir lagi sembari menggaruk dahinya yang tak gatal. Ia menghentakkan kakinya dan berlari ke arah taman rumahnya. Disana ia duduk sambil membaca buku. Mungkin dengan mengisi otaknya sambil membaca buku, akan membuatnya lupa kebodohannya. Tapi apa memang salah? Bukankah benar adanya mengakui keberadaan orang tua. Bukan begitu, ia hanya malu melihat sikap buruk ayahnya itu.

"Bik! B-bi ocik mau kemana?" tanya Ane membuat bi Ocik menghampirinya.

"Mau ke perumahan sebelah non. Beli sayur. Biasanya abangnya mangkal disana jam segini." jelas wanita paruh baya itu panjang lebar.

Ane masih diam. Tapi bi ocik bertanya lagi maksud Ane bertanya. "Kenapa, Non? Mau anterin bi Ocik?"

Gadis itu masih tampak berpikir sebelum akhirnya menggandeng tangan bi ocik, setuju untuk ikut.
Ya, daripada diam tanpa alasan dan menggerutuki kebodohannya.
Sepanjang jalan keduanya hanya diam, karena Ane tampak memandang-mandang lingkungan perumahannya itu.
Perumahan elit di kotanya. Ane sudah hampir lupa akan semua hal yang terkait masa lalunya. Namun trauma-trauma itu masib belum juga pergi dalam bayangannya.

"Bik, kira-kira kenapa Ane bisa selupa ini ya bik?" tanya Ane lirih, bahkan bi ocik sedikit menganga untuk mengeja kembali kalimat Ane.

"Mmm...mungkin non, trauma yang non alami,mm...membuat ingatan non akan sesuatu itu..jadi puder gitu non."

"Bisa begitu ya bik?" Ane menghembuskan nafas setelah melihat anggukan bi ocik. Ane tau, dulu saat masih SMP bahwa stress atau trauma bisa mempengaruhi daya ingat manusia. Mungkin ini juga yang menyebabkannya agak lupa pada hal hal sederhana di hidupnya.
Ane jadi merasa sedih, karena sebagian ingatannya tentang indahnya masa lalu terkikis karena pedih yang di deritanya. Ia masih ingat beberapa saja, tapi saat ia mengingatnya, beberapa ingatan buruk ikut terputar di otaknya. Ia takut, walaupun hanya untuk mengingat saja.

Pelecehan yang dilakukan teman laki-lakinya, tuduhan yang tak mendasar dari teman perempuannya, kehilangan temannya, dan kehilangan bundanya. Serta ingatan buruk tentang takutnya ia berada di rumah sakit jiwa.

Ane memegang kepalanya yang terasa pening. Langkahnya melambat daripada sebelumnya. Dadanya kembali sesak, saat runtutan ingatan buruk itu menghantuinya.

Pekikannya membuat bi ocik dengan sigap menahan tubuh Ane.

"Non ane! Kenapaa!! Ya Tuhan..." jerit bi ocik sambil berusaha menahan Ane yang semakin lemas.

"Heii!! Siapapun tolong!!" jerit bi ocik lagi. Ia takut tuan rumahnya bisa marah karena mengajak nona mudanya itu keluar rumah di sore hari seperti ini.

"Heii anak muda!! Tolongg saya dongg! Lihat ini, gadis ini pinsan, astagaa." pinta bi ocik yang melihat ada seorang laki-laki lewat sambil membawa sayuran.
Laki-laki itu mengenakan hoddie abu yang sangat cocok dengan kulit putihnya. Ia lalu mengangkat gadis itu tanpa ragu dalam gendongannya. Tenang saja, Ane sangat ringan jika dibandingkan dengan kekuatan laki-laki itu. Ia kemudian membaringkan Ane di sebuah kursi panjang dekat taman perumahan.

"Apa dia sakit?" tanya laki-laki itu dengan lembut.

"Saya tidak tau. Tadi non Ane mau ikut katanya."

Degg.

"Non Ane? Ane?" tanya laki-laki itu seperti terkejut setengah mati. Bi ocik juga tampak heran dibuatnya.

"Iya, dia anak tuan rumah saya."

"B-bi ocik?" tanyanya lagi. Memastikan sesuatu.

"Kamu kenapa, nak? Mukakmu sampai pucat begitu. Kamu kenal saya?" tanya bi ocik sambil mengipasi Ane. Paniknya juga belum hilang.

Laki-laki itu memeluk Ane yang masih pinsan. Memeluknya erat, tidak mau melepaskan.

Bi ocik memukul punggung laki-laki itu. Lancang sekali anak muda ini menyentuh nona mudanya.

"Heii! Lepaskan! Saya minta kamu tolong nona saya, bukan kurang ajar!! Lepaskan!!" sambil berusaha melepaskan lengan kokoh laki-laki itu di tubuh Ane.

Ane merasakan ada sesuatu yang memeluknya. Karena ia merasa sedikit sesak. Ia berusaha membuka matanya perlahan, mengumpulkan intensitas cahaya ke matanya. Ane terkesiap, sepasang mata mereka bertemu. Satu detik.dua detik. Dan untuk ketiga detiknya..

Ane berteriak kencang dan berusaha melepaskan diri.

"Bajingannn!!! Lepaskan aku brengsek!! Berhenti menyentuhkuu!! Ku bunuh kau!!" teriak Ane sekeras mungkin. Membuat renggang pelukan laki-laki itu pada tubuhnya. Sedangkan ia masih menggigil dan mengatur nafas ketakutan. Bi ocik membantu menenangkan Ane yang sudah terlihat menangis sambil menyilangkan lengan takut disentuh lagi.

Laki-laki itu hanya diam mematung. Membiarkan kedua orang yang tadi dihadapannya meninggalkannya. Ia akui apa yang ia lakukan sangatlah lancang. Tapi dorongan itu langsung saja menyuruhnya untuk melakukan itu. Ia masih mendengar jeritan gadis itu di telinganya.

Lepaskan aku brengsek! Kubunuh kau!!
Terus begitu. Teriakan itu terekam dengan sempurna dan terulang dengan apik juga. Ia memegang kakinya yang melemas dan dadanya yang berdegup kencang.

"Anelya. Kau tidak mengingatku? Kau ingin membunuhku? Astaga..aku Jio sahabatmu."

Pedih sekali hanya mengucapkan itu di dalam hatinya. Ia dapat melihat betapa kebencian Ane padanya tadi. Ia dapat mendengar bahwa gadis itu mengucapkan kata-kata kasar padanya. Jio memegang dadanya lagi, merasakan rindunya yang sekarang terbalas atas ketidaktahuan Ane.

"Bodoh sekali kau, Jio." batinya lagi. Sembilan tahun bukanlah waktu yang sebentar, gadis itu pasti akan melupakan segalanya. Terlebih saat ia melihat perubahan besar di wajah Ane. Sebenarnya mereka tidak dapat mengenali satu sama lain. Ane terlihat kurus sekarang, rambutnya masi sama, bergelombang. Tapi cara gadis itu berteriak tadi, membuat Jio merasa takut untuk mengingatkan dirinya untuk kembali lagi.

Satu kristal bening itu jatuh. Jio tersenyum miris. Dia mengakui dirinya yang bodoh. Namun pada pergerakan berikutnya, Jio berlari. Mencoba mengejar kemana perginya Ane. Ia terus melalui jalan yang ia ketahui bisa menuju rumah Ane.
Tapi gadis itu sudah tidak ada, hilang dengan cepat.
Jio mengacak rambutnya frustasi. Dadanya masih naik turun karena memompa oksigen. Ingin rasanya ia berteriak, tapi ia tau ia akan seperti orang gila ketika beberapa ibuk-ibuk yang lewat tengah berbisik-bisik melewatinya.

"Ane, aku bodoh sekali, bukan?"

Jio melangkah gontai menuju rumahnya. Gerimis mulai turun, membuat dirinya menunduk merutuki diri. Dalam gerimis itu ia berbicara dalam hati.

"Hei gadis manisku.
Kemana suara lembutmu yang lugu itu?
Kenapa kau seperti ini?
Kau memang sedikit berubah. Tapi cantikmu masih tetap tinggal.
Aku hanya kecewa pada diriku. Yang tidak bisa melihat masa-masa yang telah aku sia-siakan beberapa tahun bersamamu.
Tahun-tahun yang berat untukku. Dan apakah itu juga tahun yang berat untukmu. Aku tidak tau.
Kesalahanku itu, tidak tau bagaimana keadaanmu.
Kesalahanku itu, tidak ada disisimu. Apa saat ini kau masih butuh aku? Hah...izinkan aku kembali menjadi kita dalam perjalanan ini. Hanya singkat saja, Anelya. Waktuku singkat sekali. Kumohon...."

Satu butiran air mata itu jatuh lagi. Bergantian dengan tetesan gerimis hujan yang sudah menjadi deras yang membasahi wajahnya. Ia tidak peduli lagi dingin hujan itu mulai masuk merayap ke kulit dalamnya. Ia hanya ingim egois kali ini, memikirkan hatinya daripada keadaaan tubuhnya. Ia tau kelemahan dan ketakutannya adalah masalah waktu. Waktu yang sedang berlaku tidak adil padanya. Dan cinta di dalam hatinya yang masih belum terungkap. Sampai sekarang.

Bersambung....

Thanks for readingg😘

MENDUNG | END ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang