Sebesar apapun kasih sayang seorang ayah, akan lebih besar rasa malunya untuk mengungkapkan.
"Ayah.." panggil Ane lirih melihat ayahnya yang sibuk membuat segelas susu di dapur saat ia terbangun dari tidurnya.
Tanpa menampak reaksi apapun Baran tetap mengerjakan kegiatan membuat susunya."Ayah..mungkin ayah benci apa yang aku katakan saat ini. Tapi bisakah ayah melihatku sebentar saja?" nadanya sedikit memelas. Dengan menggeser sedikit badannya mendekati Baran.
"Jangan mencoba merayuku dengan kata manismu itu. Aku tidak akan pernah tertipu oleh gadis sepertimu." seru Baran ketus. Dibalas tatapan kecewa di mata Ane. Ada sesuatu yang mulai terasa tersekat ditenggorokannya.
"Tapi gadis ini adalah putrimu. Anakmu, ayah." balas Ane memberanikan diri. Ia harus mengatakan pada ayahnya bahwa hubungan mereka harus berubah menjadi baik.
"Berhentilah bersikap konyol padaku." kini Baran nampak selesai membuat segelas susu.
"Ayah menganggapku bercanda? Tidak ayah. Banyak hal yang ingin aku tanyakan pada ayah." pelas Ane sekali lagi."Menyingkirlah. Aku tidak ingin diganggu!" seru Baran sedikit membentak Ane yang membuatnya menatap wajah putrinya sedih.
Baran melangkahkan kakinya lebar, meninggalkan jejak dirinya yang berangsur menghilang dari hadapan Ane.
Ane masih menahan desakan rasa sakit di dadanya. Bohong namanya kalau dia tidak sakit hati mendengar ayahnya ketus seperti itu.
Perlahan turunlah cairan bening itu yang kini sudah merambas ke pori pori pipinya. Dadanya sedikit ringan, tapi sakitnya masoh terasa. Seburuk itukah ia dimata ayahnya?Apakah aku bukan anak kandungnya? Atau aku harus berpihak pada Nerima kalau sebenarnya bundalah yang jahat dalam hal ini? Aku tidak tau. Kenapa keadaan selalu memaksaku untuk memilih menyerah?
***
"Anak papa. Anggap apapun yang ada dalam keluarga kita ini sebagai cobaan ya. Jangan benci siapapun."
"Kenapa tidak boleh pa?"
"Membenci seseorang dalam permasalahan bukanlah kebijaksanaan. Itu hanya akan menimbulkan dendam.""Kumohon jangan bohongi aku kali ini pa. Aku tidak setuju dengan mama."
"Mamamu membutuhkanmu, dia begitu menyayangimu. Tanpamu dia tidak mungkin bisa sejauh ini. Mengertilah.."
"Kau memintaku untuk tidak membenci siapapun? Dan sebagai imbalannya papa pergi dariku?"
"Papa tidak pergi. Papa hanya butuh refreshing sambil bekerja. Kamu tau papa sayang kamu."
"Papa, kembalilah jika papa lelah. Aku juga akan melelahkan diriku bersamaan denganmu pada saat itu."
"Papaa!!" Al terbangun dari mimpinya. Dengan nafas yang terengah-engah ia meraih segelas air di meja samping tempat tidurnya. Ia memijat pelipisnya keras. Keringat yang mencucur di dahinya yang kini ia singkirkan menggunakan punggung tangannya.
"Selalu saja begini. Huh!" desisnya mengeluh. Ia tau ia benci karena memikirkan masalah keluarganya itu. Disisi lain ia harus lebih peduli pada mamanya, dan ia juga harus menahan rindu kepada sosok papa yang ia begitu sayangi.
Al berjalan menuju cafe yang terdapat di bagian depan kamar pribadinya. Sudah dinihari menurutnya, pasti ia lama sekali tertidur sedari pukul 3 siang tadi.
Ia duduk di meja disamping jendela besar yang menampakkan pemandangan luar cafe. Ia menghembuskan nafasnya lagi. Lelah sekali rasanya harus menjalani hari harinya sendiri. Kadang ia rindu tidur dirumah keluarganya.Suara ponsel di mengejutkan lamunan panjangnya. Al sempat menatap sekilas layar ponselnya. Terdapat nama yang ia kenal terlihat bersamaan dengan dering nyaring ponsel itu terulang lagi.
Dengan menghembuskan nafasnya lagi, ia mengangkat panggilan itu. Setidaknya untuk mengurangi kebisingan dinihari baginya.
KAMU SEDANG MEMBACA
MENDUNG | END ✔️
Teen Fiction"Dia tidak tau apa itu cinta. Untuk itu ia butuh seseorang untuk menjelaskannya. Bukan cinta yang hanya sekedar singgah dan pergi dengan memaksa." Aku ingin merasakan damainya hujan. Bukan Mendung yang datang tanpa kepastian. Aku ingin hangatnya men...