|0.6|

148 31 89
                                    

Jangankan bertepuk sebelah tangan sama doi.
Sama emak sendiri aja udah.
Hadehh..
~Fayrel

**

"Sumpah tadi itu, puahaha!! "

Fayrel mengendarai sepedanya dengan terus tertawa mengejek Mecca karena kejadian tadi pagi. Menurutnya itu satu kejadian terkocak yang pernah ia lihat di masa sekolah baru nya.

Mecca mencebik, terus mengayuh sepedanya. "Ih Irell jangan di bahas! "

"Sugar.. Yes please! Wont you come and put in down on me, eh kok jadi ke yang joget-joget di laptop si Caca ya? "Fayrel tertawa lagi.

Mecca melotot. "Sekali lagi lo ngomong kek gitu, gue tenggelamkan lo di kolam renang!"ancam gadis itu menggeram marah. Fayrel tertawa renyah, menjulurkan lidahnya mengejek.

Fayrel sangat hafal tabiat Mecca, terlebih saat liburan. Gadis itu akan lebih memilih diam dalam kamar, melihat laki-laki yang menurut Fayrel sedang joget-joget. Ketika di hampiri, akan bilang, "Sebentar lagi, Rel, ini bagian favorit gue! "

Semua saja favorit Mecca. Dan ketika di hampiri kedua kalinya, gadis itu sudah menghabiskan satu kotak tisu karena menonton drama.

Gerbang perumahan sudah berdiri kokoh depan mata, Fayrel menarik nafasnya. Entah setiap melewati ini, perasaan nya berubah begitu saja.

"Caca,"panggil nya pelan.

Mecca menoleh dengan dagu terangkat sekilas. "Apa?"

"Oh oke, cuma ngetes. Ternyata telinga lo masih waras, jangan kebanyakan nonton yang joget, Ca!"peringatnya kemudian, mengayuh cepat mengindari Mecca yang siap meledak.

"Lo bilang joget lagi, gue lempar lo ke panggung dangdutan komplek!"cerca Mecca bersungut-sungut kesal.

Fayrel tertawa lepas tanpa menolehkan kepalanya. Ia menarik napas berat lagi, perlahan memakirkan sepeda kesayangannya di garasi rumah. "Kenapa gua jadi serba salah gini dah, udah kayak lagunya Raisa aja."gerutunya pelan.

"Baru pulang lo,"tegur Raffa tersenyum tipis. Duduk di kursi yang biasa ramon gunakan untuk minum teh sambil baca koran di akhir pekan. "Sama gue juga, baru aja, kelas siang. "

Bodo amat, gua gak nanya. Fayrel bergegas mencopot sepatu sneakers yang membungkus kakinya. Ia melirik sekilas Raffa yang tampak tak pegal melengkungkan senyum. "Btw, Mama lagi ke supermarket."

Fayrel menggeleng tak acuh, lantas masuk ke dalam rumah. Raffa menghela napas berat, lagi dan lagi ia harus merasa terabaikan oleh saudara sendiri.

Cowok berambut kecoklatan itu melempar tasnya ke kasur, sembarang arah ia menjatuhkan diri ke tempat yang sama. Kenapa harus terjadi lagi, tak cukupkah penolakan yang ia lakukan agar Raffa berhenti mendekati nya.

Untung saja Venya tak sedang dirumah, satu masalahnya sedikit lenyap sore ini. Tak tahu untuk malam nanti, terlebih jika Ramon mengajaknya makan malam.

Niat pria itu baik, ia ingin menyatukan jurang yang selalu menganga di keluarga. Sebelum semakin lebar, hingga terlambat dan hancur. Tapi tidak sadarkah pria itu, jika sang wanita menolak kehadiran anak bungsunya.

Tak mengerti kah bila anak itu sudah menyerah akan penolakan yang selalu dilakukan. Perbedaan perlakuan bukanlah hal yang menyenangkan.

Bahkan sampai saat ini, Fayrel sendiri tak tahu mengapa Venya bersikap sedemikian rupa padanya. Kesalahan apa, dan jika salah nya adalah lahir dikeluarga ini, Fayrel tak pernah meminta.

Just a Friend Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang