|1.6|

79 29 62
                                    

Senyuman adalah hal yang paling tepat untuk menyamarkan pilu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Senyuman adalah hal yang paling tepat untuk menyamarkan pilu.
Tawa untuk melaburkan semua lara.
Tapi sadarkah jika berpura-pura akan tetap ada akhirnya.
Lelah.

Play now- Two Of Us • Louis Tomlison

**
Happy readingg!!! Eh sad readingg deng, eh happy deng. Au ah.
Selamat membaca

🌠🌠🌠


Pria itu menghempas napas, memandang keluar jendela dengan perasaan yang tak menentu. Tak mengerti. Sudah cukup ia pura-pura mengerti akan sikap wanitanya. Hal itu sudah berlalu cukup lama, hal itu bukan salah nya yang menyalahkan diri.

Hal itu terjadi begitu saja tanpa siapa pun yang bisa menebak. Jika sudah begitu jalan Tuhan, siapa yang bisa mencegah. Yang terjadi takkan bisa terulang, kita hanya bisa memperbaiki agar menjadi lebih baik kedepannya. Pria itu sudah berkali-kali memutar otak, berpikir positif.

Tapi sepertinya hal itu tidak menular pada wanita yang kini tergugu di atas ranjang. Wanita itu memandang kosong, bibirnya merancau. Pria tadi menghampiri, duduk disisi ranjang. "Mau sampai kapan, Ve?"

Kepala wanita itu tergeleng lirih. "Aku gak bisa, gak bisa."

Si pria mendesis pelan. "C'mon, open your heart, baby. All is not your fault, this has become God's scenario. Dont blame yourself, stop please. You hurt yourself, you hurt him much, all of us."

"You don't understand, no."wanita itu menggeleng lagi, sang pria dengan cepat meraih dagu nya mengarahkan kearah mata teduh pria itu sendiri. Ia kembali, menggeleng, mengalihkan pandangan kemana saja asal tidak mata itu. "I tried to understand, honey. I tried to thinking about what you did. But please, stop."

Wanita itu masih bungkam. Alih-alih menjawab, ia memilih menderaikan buliran air mata. Melepaskan emosi tertahan. "This is so hurt, honey. Hurt in here."

Air matanya menderas setelah mengikuti arah telunjuk suaminya menuju dada. Ia memejamkan mata. "No!"pria itu segera mendekap wanitanya, sesak menghujam dada tanpa henti.

"Kau pikir, dengan menjauhi dia akan menyelesaikan rasa takutmu itu?atau justru memunculkan rasa buruk yang lain. Hm?"Wanitanya masih setia menangis dalam dekap, pria berambut coklat tadi tersenyum tulus. "Seperti penyesalan di hari nanti? Persaan bersalah atau mungkin..... Rindu?"

"Aku sudah merasakan nya."jawab wanita bermanik indah itu. Si pria menyunggingkan senyum tipis, mengelus pipi wanitanya dengan telunjuk, kemudian mendaratkan bibir lembutnya kearah bibir yang masih bergetar menahan tangis. Sekilas saja. "Lalu mengapa tak berhenti. Kau mencipta jurang itu, terlalu jauh."

Matanya memejam sejenak, merasakan kelembutan itu dibibirnya. Ia kembali berucap. "Tapi aku tak bisa, sungguh. Aku... Aku tak kuat Ramon, maaf."

Helaan napas terdengar di telinga Venya. Ini mengecewakan, ia tahu. Tapi Venya benar-benar belum bisa untuk menerima itu. Ia tak kuat untuk menerima kenyataan yang terlalu pahit baginya.

Just a Friend Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang