Hai semua!
Jadi, kemarin aku bikin poll di instagram, nanya iseng aja sih sebenarnya. Dan ternyata, banyak dari kalian yang suka baca Wattpad sambil ngabuburit ya?Nah, karena aku orangnya baik hati dan dermawan (halah, minta ditabok hahaha) aku update deh satu chapter lagi hari ini, supaya ngabuburit kalian bisa ditemenin sama Farrel :)
Oh iya, sebelum mulai baca, jangan lupa Vote dan Comment ya! Bikin orang seneng dibulan puasa itu pahala, loh ;)
Udah ah, berisik. Happy reading! ♡
----
Matahari masih belum begitu menampakkan wujudnya di langit, namun mobil hitam milik Farrel sudah kembali terparkir sempurna di parkiran rumah sakit. Berbekalkan sebuah buket bunga mawar merah, lelaki itu melangkah memasuki bangunan yang identik dengan aroma obat dan bahan kimia.
Farrel terus menyusuri lorong rumah sakit, melewati deretan kamar yang diisi oleh para pasien rawat inap. Mata nya fokus mencari kamar tempat Safa di rawat—ia telah mengetahui nomor kamar tersebut lewat informasi yang disampaikan oleh Arka melalui sms semalam.
Tak berapa lama, langkah nya terhenti di hadapan pintu kamar yang tertutup rapat. Menghela napas pelan, Farrel segera membuka pintu ruangan tersebut, lantas pandangannya langsung tertuju pada sosok gadis yang terbaring lemah di atas brankar dengan berbagai alat medis yang melekat di tubuh nya.
Senyum getir terbit di wajah Farrel kala mata nya mengamati Safa yang terlihat begitu tenang dalam kondisi koma nya. Lelaki itu meletakkan buket bunga yang dia bawa di atas nakas, kemudian berjalan mendekati tempat tidur Safa.
Tangannya mengusap rambut tebal nan panjang milik Safa, merasakan halus nya rambut gadis tersebut yang dari dulu selalu menjadi kegemarannya, terlebih ketika rambut panjang itu tergurai lepas.
Perlahan, Farrel menundukkan badannya sampai bibirnya mendarat lembut tepat di kening gadis tersayangnya. Kecupan halus yang membawa begitu banyak makna. Tak sanggup rasanya menahan rasa sakit yang kembali menyiksa hati kala melihat orang yang ia sayangi terkapar tak berdaya seperti itu.
Andai saja takdir bisa diatur, Farrel pasti akan berusaha sekeras mungkin untuk bertukar posisi dengan Safa sekarang.
"Pagi, anak kecil." Tegur Farrel sembari menggeser kursi, memposisikannya agar berada tepat di samping kasur Safa. Tangannya kembali terulur meraih tangan Safa dalam genggamannya.
"Kamu gak bosen tidur terus?" Farrel bersuara lagi, diiringi senyum nanarnya. Mata nya tak pernah lepas menatapi muka Safa yang kian memucat, beserta luka - luka yang menghiasi kulit mulusnya itu.
"Cepat sembuh ya, saya kangen." Ibu jari Farrel mengusap pelan telapak tangan Safa. Setelah kalimat itu, tak ada lagi percakapan yang keluar dari bibir Farrel. Ia hanya asik duduk di sebelah brankar Safa, sembari mengamati setiap detail wajah gadis tersebut, seolah ingin merekam dan menyimpannya untuk selama - lama nya di dalam ingatan.
Hening. Satu - satunya sumber suara yang mengisi atmosfer di dalam ruangan tersebut hanya lah irama tetesan cairan infus, beserta bunyi mesin Vital Sign Monitor.
Lamunan Farrel seketika buyar ketika pintu kamar rawat tiba - tiba terbuka lebar. Lelaki itu spontan melepaskan genggamannya pada tangan Safa, lantas memutar posisi duduknya.
Sepasang lelaki dan perempuan paruh baya melangkah tergesa - gesa memasuki ruang rawat inap Safa, raut penuh kecemasan begitu tertera di wajah masing - masing. Tanpa perlu berpikir panjang, Farrel sudah sangat yakin bahwa kedua insan tersebut adalah orang tua Safa.
KAMU SEDANG MEMBACA
BLUE CARDIGAN vs JEANS JACKET
Teen FictionSafa Anindya. Seorang gadis yang telah pindah sekolah sebanyak enam kali dalam hidupnya. Kardigan biru yang diberikan oleh neneknya selalu dipakainya pada hari pertamanya di sekolah barunya. Baginya, itu adalah sebuah 'jimat' untuknya. Farrel Alteri...