Cathy's POV
Gue mengepel kelas gue dengan setengah hati dan berdiri tegak selama beberapa saat, mengabaikan rasa pegal di punggung akibat kelamaan bungkuk. Tangan gue menyeka keringat di dahi. Di sudut lainnya, Ervin lagi menaikkan bangku ke meja agar gue bisa mengepel lantai tanpa kehalangan kursi-kursi.
"Cepetan ngepelnya, gausah bengong gitu! Lelet banget sih," bentak Ervin.
Gue berdecak. Apa-apaan dia ngeledek gue lelet. Gue menemukan kertas di lantai. Tuh kan, dia nyapu aja nggak bener. Kertas itu gue ambil dan gue bejek-bejek. Setelah itu gue lempar ke Ervin dan tepat mengenai kepalanya.
"Hahahaha! Makan tuh kertas! Jangan ngeledek gue kalo lo nyapu aja nggak bener," ledek gue sambil tertawa. Ervin cuma menggeram.
Tiba-tiba gue kepeleset gara-gara nggak sengaja menginjak lantai yang masih basah.
Brukk...
Pantat gue jatuh ke lantai dengan sempurna.
"Rasain tuh karma! Sakit kan?" ujar Ervin dengan sinis.
"Huh, nyebelin banget sih lo," balas gue sambil susah payah berdiri, takut kepeleset lagi. Ervin cuma terkekeh melihat tingkah gue. Dasar cowok nyebelin! Untunglah ini hari terakhir hukuman kita berdua. Setelah beberapa lama, gue menegakkan badan lagi dan sejenak melihat keluar lewat jendela. Udah semakin sore.
"Sekarang bantuin turunin kursinya. Lo udah selesai ngepel kan? Buruan, biar cepet pulang," ujar Ervin.
Gue meletakkan pel di sudut ruangan dan mulai menurunkan kursi-kursi. Nggak berapa lama, pekerjaan kita selesai. Gue mengambil tas dan menggendongnya, bersiap buat pulang. Akhirnya bebas juga dari si monster Ervin!
"Woy, pelnya balikin ke tempatnya! Pelupa banget sih."
Gue berbalik dan menatap Ervin yang lagi memegang pel. Dengan muka cemberut, gue mengambil pel itu dari tangannya.
"Jangan cemberut. Muka lo tambah jelek," ujarnya datar tanpa ekspresi di wajahnya.
"Apaan sih, muka tembok diem aja!" sembur gue. Dia melotot dan gue terkikik. Gue langsung keluar kelas dan berjalan sambil membawa-bawa pel di tangan gue. Berat banget sih. Terkutuklah kau wahai pel sialan. Gue menuruni tangga dengan susah payah berkat pel 'bagus' ini. Langkah gue jadi pelan banget. Plus gue ada di lantai tiga dan masih harus menuruni tangga di lantai dua untuk mencapai lantai dasar. Gue harap ada eskalator di sekolah ini.
Gue mencapai lantai dua dengan sukses dan mulai menuruni tangga lagi. Gue yakin gue udah melangkah dengan super hati-hati.
"Aw!" Kaki gue kesengkat sama gagang pel waktu pengen melangkah lagi. Gue menatap horor anak tangga di depan gue ketika badan gue mulai limbung. Gue memejamkan mata dengan erat.
"Matilah gue."
Sebelum badan gue patah jadi tujuh karena membentur anak tangga, tangan gue ditarik seseorang dan dia memeluk gue. Tapi gue malah jatoh sama orang itu, guling-guling di tangga. Setelah beberapa kali berguling, kayaknya kita udah nyampe di lantai dasar. Anehnya, gue gak merasa terlalu sakit, apalagi patah jadi tujuh. Mungkin karena gue terlindung di balik badan orang yang menarik tangan gue. Gue sadar gue masih di pelukan orang itu.
"Aduduh," rintihnya.
Dia melepaskan dekapannya dan duduk di lantai. Gue duduk di hadapan dia.
"Lo bisa nggak kalo jalan tuh gak pake jatoh sekali aja? Badan gue sakit tau!" sungut orang itu sambil memegangi lengan kanannya dan menggerakkannya sedikit. Gue masih bengong.
"Aduh," gumamnya lagi.
"Eh...Ervin? Aduh, eh, lo...nggak apa-apa? Sori banget, duh," kata gue panik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Truth or Dare
Teen Fiction-Cathilin Fidela Earlena Panggilan gue Cathy, kelas 2 SMA. Kehidupan remaja gue normal. Sahabat gue absurd dan sukanya petakilan. Kena karma itu hobi dia. Gue sering berantem sama cowok sekelas yang juteknya amit-amit. Cerita romance? Jangan tanya! ...