Chapter 19

51.2K 2.4K 153
                                    

A/N :
Heeii! Gue update lagi, nih, di tengah-tengah pikiran gue yang lagi kacau. Yah, tau kan gimana rasanya jadi murid yang taun depan bakalan UN? Menyedihkan T-T Maaf kalo part ini gak memuaskan kalian karena pikiran gue juga kebagi-bagi. Dan intip mulmed ya^^ Untuk sekarang, gue baru bisa nampilin Cathy dan Elys. Karena gue gak tau pengen ngambil gambar apa, jadi gue kasih aja gambar gituan-_-

*****

Cathy's POV

Apa-apaan, kenapa muka dia deket banget? Gue mundur beberapa langkah sehingga wajah kita berdua ada di jarak normal. Ervin kembali menegakkan badannya, menatap gue dengan tatapan angkuhnya. Gue menggeram kesal melihat tatapan itu.

"Terserah lu pengen ngomong apapun, gue gak peduli!" bentak gue dan gue berjalan ke tempat duduk gue sebelumnya. Gue duduk di situ dan mengambil sebuah kertas kosong dari tas gue serta alat tulis. Gue memutuskan bahwa daripada marah-marah, mendingan gue bikin puisi aja. Pensil di tangan gue bergerak dengan cekatan mengikuti gerakan tangan gue.

Sesekali, gue berhenti untuk memikirkan kata-kata yang cocok dan sedikit puitis. Selama gue menulis, gue nggak merasakan adanya pergerakan yang dibuat oleh Ervin. Baguslah, mungkin anak itu lagi duduk bengong di kursinya atau main hape lagi. Oh iya, hape dia masih gue pegang, ya? Gue melirik benda kecil yang tergeletak tak jauh dari tangan kanan gue. Yap, itu hapenya. Ah, bodo amat. Nanti aja gue balikin kalo udah nggak sebel.

Hujan di luar masih deras juga, tapi petirnya sudah nggak terdengar lagi. Untunglah. Akhirnya puisi karangan gue selesai. Gue tersenyum puas sambil membaca ulang karangan itu.

Belajar Mencintai (by: Cathy)

Kutatap lembaran kertas putih di hadapanku
Yang berisi berbagai macam huruf dan angka
Membuatku pusing dan aku tidak tahu
Apa yang harus kulakukan

Kau selalu melimpahkan masalahmu padaku
Tidak peduli bagaimana perasaanku
Kau memaksaku memecahkan masalahmu
Dengan janji-janji manis mengenai masa depanku

Aku memang membencimu, sangat membencimu
Tapi sekarang aku mengerti
Aku akan berusaha mengerti dirimu
Aku akan belajar mencintaimu

Aishiteru
Matematika

Gue cengar-cengir sambil membaca puisi karangan gue ini. Entah apa yang bakalan dilakukan guru matematika gue kalo dia sampe membaca puisi ini, mungkin gue bakalan dipanggil ke BP dan dikasih pencerahan. Atau gue bakalan dipenggal. Tapi, kan, puisi ini isinya bener. Lalu, gue menyadari sesuatu. Gue melihat keluar jendela.

"Oh, hujannya udah berhenti," gumam gue. Gue memasukkan kertas berisi puisi itu dan alat tulis gue ke dalam tas. Setelah itu, gue berdiri dan menggendong tas gue. Tiba-tiba, gue teringat sesuatu. Gue memeriksa meja, tapi tidak ada apa-apa lagi di atas meja. Masa Ervin udah ngambil hapenya? Kapan? Begitu gue berbalik badan dan akan berbicara pada Ervin, gue baru menyadari bahwa ruangan ini sudah kosong. Hanya ada gue. Pantesan aja daritadi sepi, ternyata Ervin udah pergi. Dasar cowok sialan.

Gue menghembuskan napas dengn kesal sebelum akhirnya melangkahkan kaki menuju pintu lab. Koridor benar-benar sepi, yang terdengar hanyalah suara langkah kaki gue yang bergema. Lapangan sepi, ruangan-ruangan yang bisa gue temuin di sepanjang koridor sepi, sampai pintu masuk utama sekolah juga sepi. Ini, sih, tinggal gue sendirian doang yang ada di sekolah. Eh, masih ada satpam. Oke, seenggaknya, gue masih ada yang nemenin. Tapi kemudian, gue mikir. Sendirian di sekolah cuma ditemenin satpam rasanya, tuh... #jleb (apa ini?).

Gue kembali berjalan keluar sekolah dengan berhati-hati dan menghindari genangan air yang cukup banyak dan lebar-lebar karena derasnya hujan barusan. Udah lama banget nungguin hujan di sekolah, jangan sampe sepatu gue basah karena nginjek genangan air.

Truth or DareTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang