Chapter 4

71.7K 3.1K 16
                                    

Elys' POV

So give me reason

To prove me wrong

To wash this memory clean

Let the floods cross

The distance in your eyes

Give me reason

To fill this hole

Connect the space between

Let it be enough to reach the truth that lies

Across this new divide

Across this new divide

Across this new divide

Buset, itu lagu apa panci digembreng-gembreng sih?! Mana volumenya gak kira-kira pula. Berisik, gila!

"Woooyyy, siapa siiihh?? Orang lagi enak-enak tidur juga! MATIIIIINN!!!" jerit gue dari bawah bantal yang gue pake buat nutupin telinga.

Akhirnya lagu itu pun lenyap dari pendengaran gue dan digantikan dengan suara seseorang yang minta maaf.

"Aduh, sori banget, Lys, sori. Kayaknya gue nyetel volumenya terlalu kenceng ya?"

Gue menyingkirkan bantal dan mengangkat kepala gue untuk mencari sumber suara. Di samping meja belajar, ada Cathy yang lagi ngutak-ngatik hape dia. Kayaknya dia nggak keliatan kaget tuh karena tiba-tiba ada serangan musik yang bisa membuat telinga budeg di pagi-pagi buta.

"Itu alarm hape lo?" tanya gue yang dibalas dengan anggukan kepala Cathy.

"Iya."

"Telinga lo gak budeg tiap hari dengerin lagu kayak gitu?"

"Nggak tuh. Buktinya gue masih bisa dengerin lo ngomong," jawabnya.

"Gue suka sih lagu yang kayak gitu, tapi kalo dijadiin alarm kayaknya nggak banget deh," ujar gue sambil duduk dan ngucek-ngucek mata. "Sekarang jam berapa?"

Cathy melihat jam di hapenya sejenak. "Jam lima kurang lima belas."

"Hah? Untuk apa lo bangunin gue jam segini? Kan gue masih bisa tidur setengah jam lagi," gerutu gue dan tiduran lagi.

"Kan gue dateng kesini diem-diem, Lys. Kalo lo mau kita gak ketauan, kita harus bangun super pagi dan berangkat lebih pagi juga," jawab Cathy kalem.

"KOK LO BARU BANGUNIN GUE JAM SEGINI?! CEPETAN MANDI SONO BIAR GAK TELAATT!!!" jerit gue dan lompat dari tempat tidur buat ngambil baju seragam gue di lemari. Hal itu mengakibatkan kaki gue kepeleset dan kepala gue kejedot kaki meja. Yah, mungkin nanti bakalan memar dan gue jadi punya tanduk yang tumpul berwarna biru kehitaman.

Sementara Cathy mandi, gue membereskan tempat tidur. Untungnya gak ada yang denger segala keributan yang kita buat. Mungkin mereka pada kebo ya sampe gak denger lagu Cathy dan suara lengkingan gue yang terkenal akan kecemprengannya. Setelah Cathy selesai mandi, giliran gue yang mandi. Gue kalo mandi selalu cepet, gak kayak Cathy yang lamaaaa...

Setelah kita siap, gue membuka kunci pintu dengan sangat pelan agar tidak ada orang yang mendengar kami. Gue mengeluarkan kepala dan celingak-celinguk untuk memastikan tidak ada orang di lorong asrama, terutama Bu Deka dan si satpam. Gue menoleh ke arah Cathy dan mengangguk sedikit.

"Sip, aman."

Kita keluar pelan-pelan dan pergi tanpa suara setelah gue mengunci pintu kamar. Kayaknya Bu Deka dan si satpam masih tidur, soalnya gak ada tanda-tanda kehadiran

mereka. Kita sampe dengan aman, tenteram, dan sejahtera di sekolah. Kita menuju ke kelas dan menempati tempat yang sama seperti biasanya. Jujur, ini pertama kalinya gue dateng sepagi ini bareng Cathy. Enak juga ya nongkrong di balkon dengan angin pagi yang masih dingin dan seger.

Gue ngelirik Cathy yang lagi berdiri di sebelah gue. Dia diem aja sambil menatap kosong ke arah lapangan. Kayaknya dia udah mulai bergulat dengan dunia khayalan di kepalanya. Karena gue bingung mau ngapain, gue pun bilang ke Cathy (yang mungkin gak akan denger) kalo gue mau jalan-jalan muterin sekolah (kebiasaan gue kalo bosen). Dan gue pun meniggalkan Cathy sendirian di balkon dengan dunia khayalannya.

*****

Cathy's POV

Anginnya cocok banget buat gue menghayal. Gue gak tau berapa lama gue menghayal, tapi begitu gue melihat ke samping, Elys udah nggak ada. Ah, palingan dia jalan-jalan lagi dan berakhir dengan nongkrong di kursi di taman belakang sekolah. Gue memutuskan untuk nyusul dia kesana. Sekolah masih sepi banget seperti biasa kalo gue dateng pagi-pagi. Hanya gema suara langkah kaki gue yang memenuhi koridor sekolah.

Banyak lampu-lampu kelas yang belum dinyalakan, termasuk lampu toilet putri. Sebenernya, gue nggak mau lewat di depan toilet, tapi itu satu-satunya jalan menuju taman belakang. Dengan sangat terpaksa, gue melewati toilet putri yang masih gelap gulita sembari mempercepat derap langkah kaki gue.

Grasak grusuk.

Aiihh, itu apaan lagi, sih? Meskipun itu cuma suara kecil dari toilet tapi cukup untuk membuat gue hampir lompat dan merinding. Plis, jangan ada setan mampir. Sial gue juga jangan dateng dulu. Tiba-tiba, sesuatu yang berbulu keluar dari toilet dan kabur begitu aja. Cuma kucing liar. Gue menghela napas dengan perasaan lega. Gue lanjut jalan dan begitu gue lewat tepat di depan pintu toilet, sesuatu nemplok ke muka gue. Itu...laba-laba.

"Hiiyyaaaa, LABA-LABAAAA!!!" gue menjerit-jerit dan lompat-lompat kayak orang yang kesurupan 5 bulan. Gimana nggak jerit-jerit, gue phobia sama laba-laba. Arachnophobia.

Gue mengibas-ngibaskan tangan gue dan berharap laba-laba itu segera pergi dari muka gue. Gue nggak mau muka gue dijejaki oleh hewan yang paling gue benci. Karena terlalu asik ngusir laba-laba itu, gue nggak liat ke arah mana gue lompat.

Jedukk!

Jidat gue mencium tembok. Gue jatuh terduduk karena kepala gue pusing dan mata gue berkunang-kunang. Benturannya cukup keras dan laba-laba sial itu udah pergi dari muka gue. Gue menundukkan kepala dan menutupi muka dengan kedua tangan sampe rasa pusing gue hilang. Gue bahkan nggak sempet bilang "aduh!" atau sekedar "auw!".

"Lo gapapa?"

Suara seseorang diikuti dengan sebuah tangan muncul di hadapan gue. Gue meraih tangan itu dan berusaha berdiri dengan satu tangan masih memegang muka gue.

"Iya, gapapa kok," gumam gue sambil menggosok-gosok mata.

Gue mendongak dan melihat sebuah wajah yang buram. Butuh beberapa detik sampe akhirnya wajah itu jadi jelas.

"Ervin?!" gue berjengit melihat penolong gue.

Muka Ervin langsung jadi jutek.

"Jadi elo yang teriak-teriak kayak orang gila di pagi-pagi buta gini?" tanyanya dengan nada mengejek. Gue benci cara bicaranya.

"Apa urusan lo?" tantang gue. Gue tau harusnya gue bilang makasih ke dia, tapi kelakuan dia malah bikin gue sebel.

Ervin bikin suara ckckck. "Udah dibantuin bukannya bilang makasih malah kayak gitu," ujarnya sinis.

"Oke, MAKASIH!!! Puas lo?!" bentak gue dan langsung pergi ninggalin dia. Gue bisa merasakan tatapan tajam dia dari balik punggung gue.

Gue jalan ke taman dan mengarah ke kursi tempat Elys biasa nongkrong. Bener aja, Elys ada disana. Gue nyamperin dia dan duduk di sebelah dia. Kita ngobrol-ngobrol sampe matahari mulai meninggi dan sekolah mulai rame. Gue dan Elys akhirnya balik ke kelas begitu denger bunyi bel sekolah. Itu artinya gue harus ketemu sama Ervin lagi. Mau gimana lagi? Kita kan satu kelas.

*****

A/N :
Yap, ini dia chapter 4 yang gue buat sambil leyeh-leyeh di kursi, nungguin buka puasa yang masih 5 jam lagi :'D Vote dan comment kalian selalu gue tunggu~ Semoga kalian suka sama cerita gue sejauh ini dan selamat menunaikan ibadah puasa bagi yang menjalankan!

Truth or DareTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang