Chapter 32: One Fine Day

30 7 1
                                    

Chapter 32

"Len?" Suara tersebut memanggilku dalam gelap. "Lena, kau kah itu?"

Aku mengernyit dalam gelap, berusaha memunculkan bayang-bayang. Entah darimana, samar-samar aku melihat Alex— Alex kecilku. "Alex?" Panggilku tidak yakin.

Alex ada disana, tampak seperti fatamorgana. Pasti rasnya yang kurus penuh senyum tampak berbayang layaknya sebuah proyeksi. Ia melambai kepadaku. "Kemarilah, Len. Ada yang ingin kutunjukkan kepadamu."

"Kau ingin menunjukkan apa?" Kulangkahkan kakiku mendekat meskipun aku sendiri tahu ini hanyalah mimpi. Alex kecil tidak mungkin datang kembali. Ia tidak mungkin ada. "Alex, tunggu." Sergahku.

Cahaya tersebut menyusut seiring dengan langkah kecil Alex. Aku berusaha untuk mendekatinya, namun ia hanya semakin jauh.. jauh— sehingga aku semakin tertinggal.

Lalu semuanya berubah gelap.

--

Aku terbangun dalam satu sentakan nafas dan langsung bangkit dari ranjang. Tidak butuh lima detik untuk membuatku sadar akan kejadian semalam. Ya ampun, kurasakan tubuh astral dalam benakku menepuk jidat. Semalam pasti benar-benar kacau.

Entah pukul berapa sekarang, hal pertama yang kurasakan setelah mabuk untuk pertama kalinya adalah kepalaku sangat sangat sakit. Dan ketika aku sadar kalau aku tidur di ranjang si Christenjerk, aku langsung  terkejut setengah mati ketimbang memikirkan betapa pusingnya kepalaku. Dengan cepat, aku keluar dari ranjang dan mendapati sinar matahari menerpa wajahku serta ranjang kosong tempat aku tidur.

Alex Christensen tidak ada disini, ataupun tanda-tandanya.

Ya Tuhan, apa sih yang kupikirkan? Aku heran kenapa pertahananku sangat sangat lemah sampai-sampai aku membiarkan diriku menyentuh alkohol dan tidur di ranjang cowok yang bukan kekasihku— Oh ya ampun! Mungkinkah semalam... Kulihat kebawah dan mendapati tubuhku masih terbalut pakaian lengkap, bahkan aku mengenakan jaket! Ya Ampun, memikirkan Alex yang memakaikannya membuat perutku seakan jungkir balik.

Setidaknya pingsan ditengah mabuk ada untungnya juga buatku.

Baru aku berfikir untuk bangkit dan mencari seseorang yang bisa membantuku pulang, pintu terbuka dan Alex Christensen masuk membawa kantong kertas di tangannya. Wow pagi sekali, bukan tipikal seorang Christenjerk. Tampaknya ia baru mandi beberapa waktu lalu karena rambut coklat musim gugurnya tampak basah menggelap dan ia mengenakan kaus hitam dan jeans.

Yang entah bagaimana membuatnya tampak seksi.

Oh ya ampun, apa sih yang kubicarakan? "Kau bangun pagi sekali." Sapaku cepat-cepat. Mungkin setengah mengintrogasi?

"Membersihkan kekacauan semalam." Katanya melempat kantung tersebut ke sebelahku. "Roti bagel dan aspirin."

"Trims?" Balasku mengangkat alis. Ini serius Alex? "Kau tidur dimana semalam?"

"Sofa. Dibawah."

"Dan jaket ini?"

"Punyaku. Pakaianmu terlalu minim untuk udara dingin." Alex menghempaskan diri ke kursi disebelahnya. Ia memejamkan mata sejenak tampak kelelahan, atau malas tepatnya. "Kalau kau merasa lebih baik aku bisa mengantarmu pulang."

"Oh tidak perlu." Balasku dengan mulut penuh bagel. "Aku bisa naik bus, aku akan mengecek rutenya."

"Jangan bodoh. Kau mau diserang lagi?"

Oh betul. Serangan preman liar beberapa hari yang lalu membuatku berfikir ulang. "Kalau begitu, aku akan menunggu Laura bangun?"

"Kau bercanda?" Alex menatapku seolah aku ini lolucon. "Dia tidak disini. Dia selalu menginap di hotel setelah pesta."

Ya Tuhan. Kupejamkan mata berusaha berfikir. Baiklah, mungkin opsi terakhirku menang. "Oke. Asal kau tidak merasa direpotkan, aku ikut denganmu."

"Bagus." Alex bangkit dan mengambil kunci mobilnya di meja. "Mandilah. Aku akan menunggumu dibawah."

Ia keluar tanpa menoleh lagi, lalu menutup pintu dibelakangnya.

Serius nih? Kuhempaskan badanku di ranjang Alex berusaha berfikir jernih. Kenapa dia baik padaku? Mungkinkah Alex merasa bersalah karena beberapa waktu lalu dia menyinggung perasaanku?

Tuh, apa sih yang kupikirkan? Aku bangkit dari ranjang, mencoba mengeluarkan Alex dari benakku. Tentu saja, dia hanya bersikap seperti biasanya. Baik kemudian meledak-ledak. Aku harus berhenti memikirkan hal seperti itu.

Kulepas bajuku dengan segera, berusaha berfikir lebih baik. Namun apa daya, telanjang di kamar pemuda tersebut malah membuatku merinding. Tenang Lena, ini bukan masalah besar. Mungkin Alex ada benarnya, aku akan merasa lebih baik setelah mandi.

--

Aku hanya membutuhkan waktu selama lima belas menit untuk mandi. Kepalaku masih sedikit sakit karena alkohol semalam, tapi mandi membuatku merasa segar kembali.
Setelah itu aku mengintip keluar memastikan Alex atau siapapun tidak berada dikamar, lalu aku buru-buru mengenakan jaket hoodie milik pemuda itu.

Baju bekas kupakai semalam masih ada disana, di tempat aku menanggalkannya. Ew, aku merengut jijik. Kok bisa-bisanya aku pakai pakaian seperti itu. Kubayangkan kalau semalam Alex benar mengatakan bahwa aku tampak seperti jalang. Kuambil baju tersebut dan dengan cepat memasukkannya kedalam paperbag yang ada disana. Aku akan mengembalikannya nanti.

Aku tidak sempat untuk merapikan diri, takut membuat Alex menunggu. Tapi ketika aku keluar rumah kulihat dia sedang bersandar pada pintu mobilnya-- merokok.

Alex merokok? Itu membuatku kaget— tunggu seharusnya aku tidak kaget melihat sejuta hal aneh yang telah dilakukan Alex.

"Hai," sapaku canggung, membuka pintu mobil. "Terima kasih tumpangannya."

Alex tidak menjawab dan masuk ke pintu kemudi. Ia mematikan rokoknya sambil menghembuskan nafas, tampak tidak peduli kalau asapnya terkena wajahku.

"Kau merawatku semalaman." Kataku menahan jengkel. Ia pantas mendapat kebaikanku, tapi aku masih penasaran. "Kenapa?" Tanyaku berusaha untuk tidak tampak mendesak.

"Bisa tidak kau bilang 'makasih' saja?"

Tuh kan mulai lagi. Kupejamkan mataku jengkel. "Tak kusangka kau melakukan itu padaku. Kau kan benci aku."

Alex mulai menyetir, tatapannya tetap lurus. "Aku peduli padamu, Halena."

Uh! Alex peduli padaku? Kurasakan kupu-kupu berdesakan dibawah sana. Tunggu, dia pasti tidak serius. Jangan terbawa perasaan, Lena. Alex mengatakan hal tersebut kepada semua wanita.

"Oh begitu." Gumamku canggung, berusaha mencari topik lain. "Bagaimana rumahmu? Kulihat tadi sudah rapih. Kau kah yang membereskan kekacauan semalam?"

"Ya." Katanya singkat. "Aku, Austin, dan beberapa penghuni lainnya."

"Oh."

"Mau dengar sesuatu?"

Hah? Aku menoleh kepada Alex. Belum sempat bertanya, Alex sudah menyalakan radio.

Musik mulai mengalun. Aku tahu lagu ini! Aku pernah mendengarnya.

I walked across an empty land
I knew the pathway like the back of my hand
I felt the earth beneath my feet
Sat by the river and it made me complete

Kusandarkan kepalaku ke kursi mobil dan memejamkan mataku. Alex menurunkan atap mobil, membuat angin sejuk langsung menerpa rambutku.

"Oh simple thing where have you gone?
I'm getting old and I need something to rely on," lanjutku bernyanyi. Dan yang mengherankannya Alex tersenyum melirikku, melanjutkan.

"So tell me when you're gonna let me in
I'm getting tired and I need somewhere to begin."

"Wow suaramu bagus." Pujiku spontan, menoleh padanya.

Alex tertawa menatapku sekilas. Ada sesuatu dalam dirinya yang tidak seperti Alex biasanya. Seolah-olah kali ini tidak ada yang ditutup-tutupi.

Sesuatu yang membuat jantungku berdebar. Kurasakan wajahku merona.

"Lena," panggilnya tanpa melihatku. "Aku ingin membawamu ke suatu tempat. Tapi jangan bertanya sampai kita sampai."

{Heart String}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang