Chapter 3: New Rommate

638 46 2
                                    

Chapter 3

Setelah kepulangan Mom dan Alex, tidak  ada yang bisa kulakukan selain main laptop dan membuka kantung kudapanku. Kuliahku akan dimulai besok dan beberapa menit yang lalu, aku sudah selesai menata semua keperluanku disini. Merapihkan lemari serta meja belajarku bukanlah hal yang sulit dan meja belajarku pun tampak kosong meskipun setelah kusesakkan berbagai macam hal. Jauh berbeda dengan meja belajar si tetangga tempat tidur baruku. Milikku hanya sebatas buku pelajaran, lampu kecil, beberapa alat tulis dan foto aku, Ibuku, dan Alex di natal tahun lalu.

            Jika kalian penasaran kemana Ayahku. Ia sudah meninggal tiga tahun yang lalu, karena penyakit kanker paru-paru. Semenjak itu, aku mulai terganggu jika seseorang merokok di depanku. Oke mungkin itu berlebihan, tetapi serius aku tidak bohong.

            Aku menguap sekali dan mematikan laptopku. Jam berapa ini? Aku menoleh menatap jam gantung hello kitty ala gotik yang menunjukkan pukul sembilan malam. Belum cukup larut sebetulnya, tetapi ini sudah nyaris jam tidurku dan tebak? Teman sekamarku belum juga datang, dan kuasumsikan kalau orang itu bukannya lembur kuliah melainkan pesta dirumah seseorang. Seperti foto-foto di meja belajarnya. Yah, kuharap dia tidak pulang terlalu larut karena aku ingin segera mengunci pintu dan pergi tidur.

            Kunyalakan ponselku dan mulai mengetik nomor Alex. Mungkin berbicara padanya bisa membantuku mengurangi rasa bosan. Tetapi begitu dering ketiga, suara ponselnya berganti nada sibuk. Aku menghela dan mengetik sms.

            “Hi. Busy enough? :(

            Tidak lama kemudian ponselku berdering dan nama ‘Alex’ tertera di layarnya. Dengan cepat aku mengangkatnya. “Alex!” sahutku girang.

            “Hey.” Sapanya. Suaranya terdengar lelah. “Maaf tidak menjawab telfonmu, tadi aku sibuk. Yeah, kau tahu, adikku.”

            Aku mengerutkan kening. “Ada apa dengan Johnny?”

            “Seperti biasa.”

            “Oh.”

            Hening sejenak. Tidak biasanya Alex sehening ini. “Kau lelah?” tanyaku.

            “Yeah. Tapi mendengar suaramu, membuatku senang. Aku rindu padamu, Len.”

            “Aku juga.” Kataku cepat-cepat.

            “Bagaimana teman sekamarmu?”

            Teman sekamarku? Oke dia belum datang. Tetapi aku memutuskan untuk tidak mengatakannya. Alex orang yang mudah khawatir. Alih-alih jujur aku malah membuat dialog bohongku sendiri. “Um.. yeah. Cukup baik. Kami berbicara banyak, kau tahu. Soal buku.” Suaraku sendiri nyaris tidak yakin.

            “Buku? Kupikir orang seperti dia tidak suka literatur, Lena.”

            Oh yah. Cerdas sekali Alex. “Mm-hm, dia mengejutkan.” Jawabku asal. “Omong-omong, kau sendiri bagaimana?”

            “Baik. Tapi— oh sial!” kurasakan telfonnya berdenging dan terdengar suara ribut disana. “Wait a minute, Mom!— Oh demi Tuhan.” Ia kembali. “Maaf Lena, kurasa aku ada urusan sebentar. Besok kutelfon lagi, oke?”

            “Oke.”

            Setelah bertukar kata ‘I love you’ Alex menutup telfonnya dan aku kembali sendirian. Kumatikan lampu tidur dan menarik selimut hingga leher, mungkin terlalu awal tapi kuputuskan untuk tidur saja. Aku memejamkan mataku dan membayangkan Alex sepuluh tahun yang lalu. Dimana pertama kali kami bertemu. Matanya yang coklat cerah. Aku rindu Alex. Dulu setelah kami berteman dekat Alex dan keluarganya berencana untuk pindah ke New York, tetapi di dalam perjalanan mereka semua kecelakaan dan meninggal. Kecuali Alex. Dia masih hidup tetapi mengalami luka yang sangat parah karena mobilnya terbakar. Dan yang kuingat disaat itu, Alex terpaksa di oprasi total menyebabkan wajahnya nyaris berubah. Lalu, ia terpaksa kembali dan tinggal bersama bibinya di rumah lamanya. Dan Alex amnesia. Tetapi setelah kejadian itu kami masih saling bersahabat dan setelahnya, semua kembali baik-baik saja.

            Kuharap selalu begitu.

            Aku tidak tahu berapa lama aku tertidur atau membayangkan Alex. Tetapi jelas-jelas aku bermimpi dia yang berumur delapan tahun sedang menangis. Memanggil namaku. Aku mendengar suara jeritan dan benda pecah dan seketika itu juga aku bangun.

            Nafasku memburu dan terengah-engah sedangkan mataku awas.

            Dan seketika itu juga, aku melihat cahaya. Aku menoleh dan mendapati pintu kamarku terbuka. Benar saja, aku lupa menguncinya. Tetapi siapa yang masuk? Apa memang teman sekamarku atau—. Aku bergidik. Ya ampun, betapa idiotnya kau, Lena Gray. Bisa jadi ini orang asing. Dengan perlahan-lahan, aku bangkit di kegelapan. Meraba-raba dinding hingga mendapati tombol lampu dan menyalakannya.

            Betapa kagetnya aku ketika mendapati apa yang kulihat. Kurasakan suara jeritanku, begitu jauh dan seperti bukan diriku sendiri ketika mendapati dua orang pasangan sedang bercumbu mesra di tempat tidur teman sekamarku. Nyaris telanjang. Penuh nafsu. Dan kini mereka berdua menatapku.

            Aku menjerit.

{Heart String}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang