Chapter 2
“Okee, ini dia kampus barumu!” Alex merangkulku senang, dan aku tersenyum menoleh bersamaan dengan Mom kearah bangunan bertuliskan Clark Atlanta University. Oke, jadi ini kampusku? Lumayan besar atau wow, sebetulnya besar sekali. Bangunan agak klasik ala romawi kuno, tetapi Mom menjamin di dalamnya jauh lebih modern dan halamannya luas. Termasuk lapangan parkir dan fasilitasnya. Dan disekeliling kami, para mahasiswa berjalan senang memegang kudapan mereka dan saling mengobrol. Mereka tampak sangat normal dan menyenangkan. Bukan tipe-tipe mean girls yang biasanya kulihat di acara televisi. Aku mengangguk senang.
“Yeah, setidaknya kupikir ini bagus.” Kataku meraih muffinku. “Lihat? Anak-anaknya menyenangkan. Jauh dari ekspektasi burukku.”
Mom menepuk tangannya puas. “Tentu saja!” balasnya. “Ini akibatnya kalau akulah yang memilih universitasmu, Lena. Kau tahu aku selalu memberikan yang terbaik.”
Sebetulnya tidak juga. Tapi karena hari ini mood semua orang sedang menyenangkan, jadi kuputuskan untuk mengangguk setuju.
Alex tertawa dan memutar mobilnya. Membawa kami pergi ke kompleks dorm para mahasiswa atau tepatnya yang akan menjadi tempat tinggal baruku. Begitu sampai tempatnya juga lumayan bagus dan tidak mengecewakan. Kami turun dan Alex membantu kami membawa koper bawaanku sementara Mom memandu jalan menuju flat baruku. “Nah F24, ini dia sayangku!” pekiknya menoleh kearah kami berdua. “Sungguh aku tidak percaya sebentar lagi kau akan tinggal di tempat ini.”
Aku tertawa dan membuka kuncinya. “Kau bisa main kapan saja, Mom. Dan— tada!”
Pintu terbuka, dan aku bisa melihat seisi dalamnya. Satu sisi kamarku dengan ranjang putih polos dan... uh, oke ini bukan yang kuharapkan sebenarnya. Atau tepatnya, bukan yang kami harapkan. Dinding kamar berwarna pink neon cerah dengan hiasan-hiasan punk-rock ala Avril Lavigne dan meja belajarnya penuh dengan make up serta tumpahan cat kuku alih-alih buku serta tugas-tugas. Dan sampah kripik kentang berserakan dimana-mana. Uh oke. Ini cukup.. cukup..
“Teman sekamarmu tampaknya bukan anak baik.” Mom menyelesaikan. Suaranya penuh peringatan.
Ya. Tepatnya begitu. Namun, sayang teman sekamarku tampaknya tidak ada disini.
“Semuanya baik-baik saja.” bantahku mencoba tampak girang. Aku menyeret koperku dan menumpahkannya ke ranjang polosku. Satu-satunya tempat yang tidak terjamah tangan-tangan liar teman sekamarku. “Lihat? Setidaknya bagianku cukup bersih.”
Tapi Mom tidak memperhatikan. Ia sibuk menerawang foto-foto sekumpulan pesta remaja yang ditempel asal ke dinding. “Dimana dia? teman sekamarmu?”
“Uh kurasa dia kuliah.”
“Ibumu benar, Len. Kurasa seharusnya bukan tempatmu disini.” Alex menimpali. Terlalu protektif dan itu membuatku nyaris memutar mata. “Maksudmu kau bisa menukar tempat dan semacamnya. Ke tempat yang lebih— bersih?”
Aku tahu makna bersih yang dia katakan.
“Ah ya!” Mom menepuk dahinya. “Ide Alex benar-benar bagus. Mengapa tidak terlintas di benakku, ya?”
Tidak. Itu tidak bagus. Bertukar kamar akan memberi biaya lagi, dan aku tidak ingin karena Mom telah membiayai kuliahku dengan susah payah. “Ini tidak apa-apa Mom.” Sahutku. “Lihat sisi baiknya. Lagipula kita belum tahu seperti apa teman sekamarku kan?”
“Oh. Sudah jelas seperti apa dia. Lihat dekorasi dan bukti pesta ini?” dengus Mom menggeleng tidak percaya. Ia memijit kepalanya seolah-olah telah menangkap basah sekumpulan remaja teler sedang pingsan di hadapannya.
“Kita tidak tahu.” Kataku bersikeras. Kemudian menatap Alex. “Lagipula Alex bisa mengunjungiku setiap saat dan memastikan bahwa aku benar-benar baik baik saja.” kutatap Alex dengan pandangan mencoba bersekutu. “Bukan begitu, Alex?”
Awalnya Alex tampak ragu, terlihat dari bagaimana caranya ia mengelus rahangnya. Tetapi kemudian ia mengangkat alis seolah berkata Baiklah. Dan kupikir aku nyaris lompat dan menciumnya karena senang. “Yah, tentu saja.”
Mom menatap kami bergantian, tetapi pada akhirnya ia setuju. Setelah menceramahiku panjang lebar soal tidak terlalu mengikuti arus globalisasi dan belajar dengan giat dan soal pergaulan bebas. Akhirnya Mom memutuskan untuk pulang karena akan bersiap untuk acara makan-makan tetangga baruku. Begitupula Alex. Dia bilang padaku soal tim baseball Saint Michaelnya yang akan latihan untuk pertandingan minggu depan. Dan aku berjanji akan datang. Sebelum mereka benar-benar pergi melewati pintu kamarku, Mom memastikan sekali lagi.
“Selalu berhati-hati kepada siapapun kau berteman, Lena sayang. Jangan lupakan itu.” ingatnya. Dan aku mengangguk, membiarkan Mom memelukku.
“Aku akan merindukanmu, Mom.” Sahutku, lalu berpaling kepada Alex. “Aku juga akan merindukanmu.”
Dia mencium dahiku. “Aku juga. Tapi kupastikan kita akan bertemu seminggu sekali, oke? Aku akan meluangkan waktuku, jangan khawatir.”
“Oke.” Sahutku. “Aku cinta padamu.”
“Aku juga mencintaimu. Lebih daripada cintamu kepadaku.”
Aku terkekeh geli hendak membalas, tetapi tepat disaat itu pintu lift terbuka dan mereka terpaksa masuk. Aku melambaikan tanganku seiring pintu lift tertutup. Dan setelah itu, kurasakan lift sudah meluncur kebawah dan seluruhnya kembali hening. Aku menghela berbalik dan menatap lorong asramaku.
Baru kali ini aku merasakan begitu sendirian. Aku menghela lagi dan berlanjak ke kamar. Berharap semuanya akan berjalan mulus seperti yang selalu kuinginkan.
*
Okaay, ini permulaan and maybe this is bloody boring i knoooow! Im soooo sorryy. But I swear, next part will be more and more interesting! ;)
KAMU SEDANG MEMBACA
{Heart String}
Teen FictionLena Gray yakin jika pacarnya- Alex Jackson adalah cinta pertamanya. Alex yang meskipun wajah mereka berbeda karena ia pernah kecelakaan sehingga merenggut wajah 'Alexnya' yang dulu serta ingatannya. Sampai akhirnya ia bertemu Alex Christensen. Pem...