Chapter 13: Charming Prince

344 36 0
                                    

Chapter 13

Rasanya sudah setengah jam aku menangis, atau berapa lama.. entahlah aku tidak peduli. Oh ya ampun, bodoh sekali aku sempat lalai oleh kejahatan kata-kata Alex. Tentu saja dia takkan bersikap baik padaku. Takkan pernah. Ini buruk. Kurasakan mataku yang basah mulai berkantung merah layaknya rakun. Uh, satu-satunya hal yang kuinginkan sekarang adalah mengompres mata dengan batu es sampai kelopak mataku mati rasa.

            Tapi ternyata harapanku pupus begitu Laura berkata bahwa batu es tidak tersedia di kulkas asrama. “Biasanya keadaan disini selalu dingin,” Laura menjelaskan. Tangannya bergerak mencari foundation diantara kumpulan make up. Dan akhirnya dia menemukannya. “Nih, diam sebentar biar kuoleskan benda sialan ini disana. Sumpah hasilnya akan seperti sulap.” Laura mengangkat benda tersebut tinggi-tinggi, tersenyum penuh cengiran. “Dan mungkin sedikit maskara akan membantu membuat testosteron pacarmu naik sejuta kali lipat.”

            Mendengar kata-kata testosteron membuat perutku mual. Aku tidak biasa mengucapkan kata-kata yang dicap Ibuku ‘tidak baik’ seperti itu. Aku mendesah setengah resah atau malas. “Kuharap kau tidak menyulapku menjadi rakun.”

            “Mata rakun membuat siapapun jadi tampak seksi.” Laura melompat ke ranjangku. Membuka peralatan make-upnya. “Contohnya Avril Lavigne,” ia menyeringai menunjuk dirinya sendiri dengan jempol. “Dan aku.”

            Oke, yah mata rakun memang membuat Laura kelihatan seperti Maddona. Tapi rasanya peralatan kecantikan tidak akan senang berkenalan dengan wajahku, tapi masa bodoh lah. Asalkan kantung mataku hilang Kupejamkan mataku, membiarkan Laura memolesnya dengan foundation. Dan aku merasakan sebuah sensasi nyaman dari brushnya yang bergerak melintasi pelipisku.

            Oke, kutarik kembali kata-kataku. Mungkin aku dan Make up bisa bersahabat.

            “Kau tahu,” suara Laura rendah seperti gumaman tidak yakin. “Kau bisa cerita padaku soal Alex. Mungkin kau berfikir aku anak geng― oke aku memang anak geng, tapi setidaknya aku bisa dipercaya dibanding jalang-jalang yang lainnya.”

            Jalang. Alex suka menyebutku begitu, bukannya aku ingin mengingatnya. Jalang bukan sebutan yang kemungkinannya kecil disukai banyak cewek termasuk aku. Tapi aku malah berdehem memperkuat suaraku. “Alex yang mana nih?”

            “Dua-duanya.” Balasnya tanpa ragu. Uh! Aku merasa lem lengket menarik bulu mataku.

            “Apa yang kau lakukan?” Desisku samar.

            “Bulu mata palsu, Len.” Katanya santai, menempelkan benda yang persis sama ke mata sebelahku. “Nah, bagaimana? Deal? Aku akan cerita semua masalahku begitu juga kau― ini masalah persahabatan, oke?”

            Sejujurnya moodku sedang tidak senang untuk mengungkit masalah tentang kedua Alex tersebut, terutama Alex Christensen. Tapi mungkin Laura bisa membantu. Aku mendesah. “Oke.”

            Setelah itu aku mulai bercerita soal Alex. Awalnya niatku hanya sebatas kejadian tadi, tapi lama kelamaan aku keterusan dan omonganku seperti kereta― tidak bisa berhenti. Aku tidak tahu aku mulai darimana dan berakhir dimana. Yang jelas, semakin banyak aku bercerita, semakin basah mataku. Dan kurasakan air mata yang sebelumnya kusimpan mulai menggumpal lagi, dan Laura menyekanya. “Hey, jangan menangis.” katanya ikut prihatin. “Cup cup, Lena. Sudahlah, kau tidak pantas menangisinya oke? Dia iblis cowok berandal dan kau...” Laura tersenyum lembut. “Kau malaikat.”

            Aku agak sesegukkan. Menyeka airmataku, aku berusaha agar suaraku tidak bergetar. “Uh, aku tidak mengerti kenapa aku masih menangisinya. Kata-katanya menyakitkan, Lau. Secara tidak langsung dia seperti berkata..” Kurasakan desakan untuk menangis lagi. “Seperti― seperti― seperti aku memang murahan.”

{Heart String}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang