Chapter 14: A Date?

307 36 3
                                    

Chapter 14

Alex tidak tahu aku ingin menangis, tapi setidaknya senyumannya membuatku sadar bahwa aku yang jahat karena menganggap cowok itu membosankan.

            Yah, begitulah. Setelah aku mengenalkan Alex Jackson-ku kepada Laura sekaligus berpamitan dengannya. Kami bergegas berangkat. Alex ketara sekali tidak mau memberitahuku kemana kami akan pergi. Tapi raut wajahnya tidak tampak marah soal kejadian kemarin, bahkan ia kelihatan sama sekali tidak ingat. Bagus, kebetulan aku juga tidak mau mengingatnya.

            Tentu saja, lagipula buat apa sih aku repot-repot memikirkannya? Sedikit dosis nama Alex Christensen membuat kepalaku langsung pening penuh perasaan jengkel. Ya ampun, aku baru sadar kalau aku mulai benar-benar membencinya. Rasanya... Rasanya begitu...

            Menyakitkan?

            Oke. Menyakitkan terdengar skeptis sekali. Mungkin kata marah lebih tepat menggambarkan perasaanku sekarang dibandingkan menyakitkan. Lagian, omong-omong kenapa aku malah jadi membicarakan dia sih? Kugelengkan kepalaku agar si preman itu pergi dari kepalaku.

            “Kau baik-baik saja?” Alex Jackson-ku tersenyum geli dari pantulan kaca dasbor. “Kau tampak stress.. Stress yang lucu kalau dilihat-lihat.”

            “Oh, stress yang lucu. Imut sekali, Alex. Sejak kapan kau dapat kata-kata menggoda begitu?”

            “Menggoda ya, menggoda itu cara berpakaianmu.”

            “Alex!” Pekikku melotot kearahnya. “Kau sangat..”

            “Tidak sopan?” Dia tahu kelanjutannya. Dan itu membuat pipiku merona. Kalau saja ini hanya bercandaan para kekasih mungkin tampak romantis. Masalahnya ini Alex Jackson, dan dia selalu serius. Seolah membuktikannya ia melanjutkan. “Pakaianmu, Lena. Kau membuat mata cowok-cowok lain lompat dari tempatnya. Sejak kapan kau mulai mengenakan benda-benda seperti itu?”

            Ya Tuhan, mulai lagi. “Aku sudah delapan belas tahun, Alex. Aku berhak mengenakan apa yang ingin kukenakan.”

            “Dan dandanan itu? Bukan gayamu Lena.”

            “Semua cewek ingin tampil cantik di depan pacarnya.”

            Alex menghela letih seolah aku membuatnya penat. “Kau tahu, benar apa kataku kan? Teman sekamarmu membawa pengaruh buruk.” Katanya kembali menatap lurus. “Kau berubah Len. Meskipun sejujurnya kau tampak cantik dengan itu― aku tidak suka cowok-cowok mata keranjang lain menganggapmu cantik.”

            Mau tidak mau aku terkejut. “Kau tidak suka?” tanyaku bingung. “Kau tidak suka orang lain menganggapku cantik?” Oh ya ampun, kenapa sih dia?

            “Tidak suka.” Tegasnya. “Hanya aku yang boleh melihat jati dirimu yang sebenarnya― kecantikan tersebut, dengan begitu tidak ada cowok lain yang menggodamu.” Alex tersenyum dengan senyumannya yang membuatku luluh. Ya Tuhan, betapa manisnya dia. Kurasakan hatiku bergetar penuh haru dan satu-satunya yang kuinginkan adalah menyuruh Alex menghentikan mobil dan menciumnya selamanya. Aku sama sekali tidak menyangka maksud kata-kata protektifnya belakangan ini. Dia ingin melindungiku karena dia mencintaiku. Oh, betapa bodohnya kau, Lena. Kenapa aku malah memikirkan cowok lain disaat aku punya cowok yang sebaik malaikat bersamaku?

            Kurasakan mataku mulai berkaca-kaca terharu. “Aku tidak tahu kalau itu maksudmu,” kuberikan senyum terbaikku. “Aku cinta padamu, ya Tuhan. Alex, kau tahu betapa beruntungnya aku memilikimu?”

            Alex tertawa. “Dan andaikan kau tahu betapa bahagianya aku punya dirimu.” Ia meraih tanganku dan menggenggamnya erat. “Aku juga mencintaimu, Len. Nah, sekarang lihat kedepan dan kau akan tahu kemana aku akan membawamu.”

            Dalam nano detik setelah kata-kata terakhir Alex, aku langsung menoleh kedepan sehingga melihat pemandangan yang begitu familiar dengan apa yang kuingat. Kok aku bisa tidak menyadarinya? Pemandangan ini― jalanan berliku di depan dengan tebing-tebing curam diantara kami. Diatasnya terdapat langit cerah serta burung camar berputar indah, dan disebrang sana― kulihat laut. Laut yang begitu biru nyaris menyatu dengan langit, deburan ombaknya menerjang karang di teluk. Teluk yang melambungkan kembali segala nostalgia yang pernah dibayangkan seorang Lena Gray. Aku terkisap.

            “Beach City.” Alex berbisik senang ditelingaku. “Ayo kita kembali ke masa-masa sepuluh tahun yang lalu.”

{Heart String}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang