Chapter 12: Harsh Words

567 39 15
                                    

Chapter 12

 

Keesokan harinya, nyaris seharian penuh aku tidak melihat Alex Christensen. Bukannya aku peduli, hanya saja, pagi ini ketika lampu sudah menyala dengan normal lagi— Laura dan aku berhasil menemukan kuncinya, terselip diantara figur-figur foto milik temanku itu. Lalu selain itu, aku hendak memberinya selamat karena telah membuat seisi flatku seperti kapal pecah— oh bukan kapal pecah lagi melainkan kapal karam. Hebat betul dia.

            Selain ceceran kripik serta benda-benda lainnya, aku punya masalah kedua. Alex Jackson pacarku. Nah benar kan. Pagi itu, ketika sinyal ponselku penuh— sejuta sms dan notifikasi telfon tak terjawab dari Alex masuk membuat bunyi ping! ping! ping! berkali-kali layaknya arkade donkey kong. Dan isinya tidak lain adalah pernyataan marah-marah penuh kekhawatiran yang langsung menurunkan moodku hari itu. Dia berkata akan menemuiku tepat setelah jam pulang sekolah.

            Aku melangkah berputar melewati perempatan lorong dan turun ke tangga kafetaria. Sejak tadi pun tidak ada seorangpun yang berhasil kujadikan teman dekat. Bagus sekali. Sekarang teman dekatku hanya si kawanan anggota geng, lalu Jude.

            Oh ya ampun. Bahkan seharian ini aku tidak bertemu dengannya.

            Kuhentikan langkahku tepat di depan mesin snack. Yah, di hari yang membuat kepalaku nyaris meledak ini, kurasa makanan berat akan membuat gelenyar tidak nyaman di perutku semakin parah. Perasaan yang selalu muncul setiap aku memikirkan Alex. Aku mendesah. Oke ralat, mungkin bukan memikirkan tetapi setiap bayang-bayang Alex terlintas di benakku. Nah itu baru benar. Aku tidak sudi memikirkan cowok berandal itu. Lantas aku menggelengkan kepala. Cepat-cepat memasukkan uangku ke mesin dan mengalihkan pikiranku kepada snack makan siang. Alex harus segera pergi dari kepalaku.

            “Animal Crackers atau Honey Star?”

            Aku terkisap menyadari suara itu dan segera berputar. Senyumku mengembang mengetahui siapa pemiliknya. “Jude!” pekikku gembira. “Kemana saja kau? Sumpah, nyaris seharian ini aku mencarimu dan sempat berfikir kalau jangan-jangan kau cuma bayanganku saja.”

            Jude nyengir. “Aku tahu kau merindukanku.”

            “Oh rindu.” Dengusku sok jengkel. “Omong-omong kau belum menjawab pertanyaanku. Kemana saja kau?”

            Dia menekan tombol Honey Star dan mengambil kotak boks itu di bawahnya. “Kelasku di gedung sebelah.” Gumamnya, kemudian menyerahkan boks itu kepadaku. “Nih. Kau lama, kalau tidak cepat-cepat memilih, kita akan kehabisan tempat duduk.”

            Sejujurnya aku tidak suka Honey Star, tapi kesenanganku karena telah bertemu Jude membuat Honey Starku terabaikan. Oh memangnya aku peduli? Aku membalasnya dengan sebuah cengiran lebar. “Terserah. Nah, ayo. Banyak hal yang harus kuceritakan kepadamu.”

            Aku dan Jude mengambil tempat di sudut kafetaria. Tempat ini cukup besar dan ramai, sehingga entah kenapa mataku selalu berkeliaran mencari-cari sesuatu yang bahkan tidak kuketahui sambil berbicara dengan Jude. Kami berbicara cukup panjang dan lama. Membahas masalahku dengan Alex pacarku yang bersikeras untuk menemuiku nanti. Lalu masalah aku yang terpaksa-terjebak-dengan-geng-preman, Jude memberiku saran jika aku kesulitan menjauh tidak apa-apa jika aku berteman dekat dengan mereka, hanya saja aku harus berhati-hati agar tidak terpengaruh pergaulan bebas seperti itu.

            Dan yang terakhir— Alex Christensen.

            “Aku tidak mengerti.” Kataku untuk yang ke sekian kalinya. Suaraku nyaris putus asa. “Aku tidak mengerti kenapa aku bisa terjebak di pelukan si brengsek itu. Dan ya ampun, Jude. Aku nyaris selingkuh kalau Laura tidak datang tepat waktu! Tuhan, aku tidak tahu apa yang terjadi jika itu terus berlanjut.” Kuhela nafas dramatis, membesarkan mata menatap Jude yang menahan tawanya.

{Heart String}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang