Chapter 23: Play Hard

405 33 2
                                    

Chapter 23

“Lena.” Sapa Alex Christensen yang anehnya sama sekali tidak dingin. Dan dia tahu itu aku padahal dia sama sekali tidak menoleh. Wow langka sekali. Kurasakan tatapan David dan cowok lainnya menatap kami, dan anehnya mereka langsung melanjutkan aktivitas mereka seolah ini sudah biasa terjadi.

            Aku melepas rangkulanku dan duduk di meja biliar. “Apa yang kau lakukan?” oke, bodoh sekali. Jelaslah dia sedang bermain pool. Kubayangkan Alex akan menatapku sinis seolah-olah aku mahluk terbodoh yang pernah ditemuinya karena pertanyaan tersebut. Tapi alih-alih melakukan hal tersebut dia malah menopangkan tangannya diatas stik dan tersenyum menggoda. “Mau main?”

            Tidak. “Bukan ide bagus.” Gumamku mengarahkan kepalaku kearah Alex Jackson. “Pacarku menunggu disana.”

            Dia menaikkan sebelah alis. “Pacar?”

            “Ya.” tegasku. “Dengar Alex, aku harus buru-buru. Laura dan Austin―”

            “Satu kali, dan jika kau menang kau bisa meminta apa saja dariku.” Sahutnya seolah tidak mau ditolak. Oke, tawaran ini menggoda. Aku bisa memintanya agar dia tidak lagi berlaku jahat kepadaku. Tapi disisi lain, kulirik Alex Jackson menyilangkan tangannya tampak tidak senang. Menungguku. Aku menggigit bibir menahan desakan untuk menjawab ‘ya’.

            “Dan jika kau menang?” tanyaku gugup. Alex menatapku dalam-dalam, bibirnya membentuk senyuman sombong yang khas.

            “Roller coaster.” Jelasnya penuh kemenangan. “Menguntungkan bukan, mamacita?”

            Oke, aku berasumsi dia akan memintaku melakukan hal-hal yang aneh dan bukannya hal seperti ini. Dan sejujurnya aku tidak tahu apakah dia bisa membaca pikiranku soal takut ketinggian atau dia melakukan hal yang tidak mungkin yaitu menanyakan Ibuku. Dan ketiga, aku tidak suka caranya memanggilku Halena atau mamacita. Itu membuatku menggigil dengan cara yang aneh. “Akan kupertimbangkan.”

            Senyuman Alex meninggi. “Bicaralah dengan pacarmu dan temui aku sepuluh menit lagi.”

            Setelah itu aku berusaha mengabaikannya dengan melangkah seolah cuek dan untungnya Alex Jackson tidak mengatakan apa-apa lagi selain merangkulku protektif, suatu hal yang membuatku tergoda untuk menoleh ke belakang dan melihat bagaimana reaksi Alex Christensen. Kami kembali ke arcade foosball dan kembali bermain. Semuanya tampak senang kecuali aku. Oke, mungkin ini cukup menyenangkan kalau saja tempatnya jauh dari tempat si Christenjerk berada. Setelah sepuluh menit berlalu, kuusahakan agar bersikap seolah tidak peduli dengan kata-kata Alex. Ketika kulirik ke meja pool, dia sudah menghilang.

            Oke. Tenang, Len. Aku takkan terpancing. Kupusatkan seluruh konsentrasiku di permainan foosball sampai akhirnya. “Aku mau cheeseburger.” Erang Laura kelelahan, kemudian berpaling menatap Austin. “Please?”

            Kesempatan. “Aku juga.” Sahutku. “Bagaimana jika aku yang beli?”

            Disebelahku, Alex Jackson merapat. “Ide bagus. Aku akan pergi bersama Lena.”

            Oh tidak. Cari alasan Lena, cari alasan. “Aku mau soda lagi. Jadi bagaimana jika aku beli cheeseburger dan Alex beli soda?” tawarku. Ya ampun, ayolah. Dan sepertinya Tuhan mengabulkanku karenanya Alex mengangguk setuju. Dengan cepat aku berlanjak pergi keluar daerah arkade dan pergi menuju gerai cheeseburger. Tapi entah mengapa langkahku malah berputar dan berjalan kearah antrian roller coaster. Wahananya menjulang tinggi dan terbuat dari kayu tua, tampak rapuh kalau dipikir-pikir. Aku membayangkan seberapa kuat wahana ini bertahan jika tiap menitnya diisi orang-orang berbobot empat puluh lima kilo. Disebelahnya terdapat palang agar orang berpenyakit khusus dilarang menaiki wahana tersebut. Ketika mendongak, kulihat langit hitam mulai kelabu ditutupi awan mendung. Ini mengerikan. Bagaimana jika aku naik hujan turun?

            Aku mundur beberapa langkah dan menabrak daging hidup dibelakangku, dengan cepat aku berbalik dan mendapati Alex Christensen tersenyum nakal. “Aku tahu kau tidak bisa menolakku.”

            Oh sombong sekali dia. “Terserah, lagipula aku takkan menaikinya.”

            “Kau takut, mamacita?” suaranya menggodaku. Nyaris mencemooh. Kupasang raut sedatar mungkin.

            “Tidak.”

            “Kalau begitu, naik.”

            Uh, sejujurnya aku takut ketinggian. Tapi aku takkan ketakutan disini, tidak didepan Alex Christensen. Mengumpulkan keberanianku, aku masuk kedalam antrian, berharap wahananya tutup karena sebentar lagi hujan. Tapi entah bagaimana, dalam nano detik berikutnya pintu antrian terbuka dan aku terpaksa masuk. Alex menarik sikutku ke kereta paling depan.

            Aku duduk, memasang safety belt. Alex duduk disebelahku.

            “Alex.” Kataku berusaha terdengar menuntut, tapi suaraku malah berupa bisikan. “Kau curang, aku bahkan belum mencoba untuk menang.”

            Aku tidak bisa melihat senyuman Alex dikegelapan, tapi aku sangat yakin dia tersenyum nakal. “Kau boleh bertanya apapun padaku setelah ini.”

            “Apapun?”

            “Yea.”

            Aku membuka mulut hendak berbicara tetapi roller coaster langsung melaju cepat, membuat kepalaku pusing. Kurasakan perutku mual dan seluruh asupan soda ku tadi ingin melompat keluar, atau mungkin aku akan pingsan. Angin laut menerpa wajahku hingga seakan membeku dan kurasakan rintik-rintik hujan turun menerpa wajahku bagaikan uap angin. Cepatnya roller coaster begitu terasa di turunan tiga ratus enam puluh derajat dan leherku sakit karena sentakan hebat. Samar-samar kulihat langit hitam kelabu dengan petir menggelegar dan rintik hujan yang menusuk bagaikan jarum. Bagaimana jika petir menyambar? Bagaimana jika wahana ini rubuh? Diantara kecepatan mengerikan roller coaster dengan sentakannya, diantara delusi dan halusinasi kurasakan tangan Alex menggenggam tanganku.

{Heart String}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang