Chapter 10: "Halena," He Whispered

572 38 8
                                    

Chapter 10

 

“Kita terkunci disini.” Begitu Alex mengatakannya duniaku seakan membeku. Aku menatapnya bingung dalam diam, mencoba memproses seluruh kata-katanya hingga otakku yang lamban mulai bekerja menerjemahkan informasi.

            “Apa?!” pekikku langsung dilanda kepanikan. Terkunci? Yang benar saja!

            Dan seolah membuktikannya Alex mengutak atik kenop pintu berkali-kali, menendangnya tetapi tidak menghasilkan apapun selain derak pintu yang rusak. Ia mundur dan menatapku seolah berkata ‘apa lagi yang bisa kuperbuat’ dan itu membuatku semakin panik, ketakutan, tidak percaya, serta sejuta kombinasi buruk lainnya. “Kau yakin benar-benar terkunci?” aku menghampirinya, tetapi Alex tidak berbicara sepatah katapun melainkan mundur mempersilahkan aku mencoba. Kuputar kenop pintu keras-keras.

            Tidak ada yang terjadi.

            Sialan. Apa yang diinginkan pintu ini sih? Aku menendang marah dan nyaris memakikan kata-kata keparat! seperti yang sering dilakukan Alex. Tetapi itu tetap tidak mengubah apapun selain kakiku yang berdenyut memprotes. Aku meringis dan mundur.

            “Percuma. Itu hanya akan menghabiskan tenagamu.” Alex mengomentari dan aku tahu bahwa dia benar. Dia sendiri malah dengan tenangnya berlanjak duduk diatas ranjang Laura. Kalau bukan karena karena luka di kepalanya, aku akan sibuk mempertanyakan kenapa dia bisa begitu tenang sementara pintu sialan ini nyaris tidak terbuka. Sial. Ini menyebalkan dan— oh aku mulai memaki menggunakan kata-kata Alex. Ups.

            Aku mengguncang kenop sekali lagi. “Tidak mau terbuka.” Desahku putus asa kemudian melirik Alex yang asyik mengamatiku sementara aku bersusah payah. Dia mulai menjengkelkan. “Kau hanya mau duduk disitu seperti anak kecil atau membantuku?”

            “Tidak ada toleransi untuk orang sakit ya, Gray?”

            “Oh terserah!” dengusku kesal. Kutarik kenop pintu sekali lagi, kali ini lebih keras sehingga gigiku bergemeretak. “Setidaknya lakukan sesuatu, jangan hanya diam dan— aduh!” aku terbanting keras ke belakang. Oh ya ampun. Dengan kepala berasap dan berputar, aku berusaha agar kakiku tidak limbung ketika bangun. “Ini semua karenamu, Alex.” lanjutku kesal. Aku bangun dan mulai menarik kenop pintu lagi, tetapi yang kuraih hanyalah udara kosong. Mendadak duniaku terasa berputar dan aku mengalihkan pandanganku dari Alex ke kenop pintu yang mendadak lenyap. Tidak mungkin! Aku terkisap kaget ketika menyadari kenop pintu yang seharusnya berada disana malah tergeletak kaku tidak berdaya di sebelah meja belajar.

            Mulutku terbuka tidak percaya.

            “Nah, siapa yang mempersulit keadaan sekarang?” Alex bersedekap menatapku dengan alis bertaut. Ini buruk dan kuharap aku mati saja sekarang.

            “Aku.. aku..”

            “Sudahlah, ini tidak ada gunanya.” Lanjutnya lagi dan entah mengapa aku langsung dirundung perasaan bersalah. Menghela letih sekaligus frustasi, aku mengambil tempat duduk di ranjangku— tepat di sebrang Alex. “Aku tidak mengerti kenapa ini tidak ada gunanya.” Sahutku belum putus asa. Oke mungkin sudah, tapi setidaknya secuil bagian dari diriku masih ingin mencoba. Wow, betapa tinggi naluri pejuangku. Aku sendiri tidak menyangkanya.

            Kelihatannya Alex juga begitu karena ia lantas menaikkan kedua alis tampak tidak menduga aku akan melakukan ini. “Aku tahu ini tidak ada gunanya.” Ujarnya menilaiku. “Pintu kamar Laura selalu bermasalah ketika kau membantingnya, kecuali jika ada seseorang yang membukakannya dari luar.”

{Heart String}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang