Chapter 19
Empat hari berikutnya, semua berjalan normal. Aku melaksanakan ujianku dengan lancar, istirahat di kafetaria dengan Jude, hubunganku dengan Alex-ku dan Mom pun berjalan halus. Alex menemuiku dua hari yang lalu, mengajakku makan malam dan membawakanku bunga. Dia agak renggang belakangan ini sehingga untuk pekan ini, Alex selalu menelfonku di skype. Laura terlalu sibuk ujian sehingga kami jarang bertemu kecuali malam hari disaat dia memintaku mengajarkan mata pelajaran yang tidak dimengertinya. Dan salah satu hal yang paling menyenangkan, aku belum bertemu Alex Christensen setelah pertemuan terakhir kami di kafetaria.
Dan di hari terakhir ujian, Laura mengajakku untuk berpesta di salah satu rumah temannya. Dia bilang bukan pesta besar, hanya pesta bantal, twister, brownies, dan takkan sampai malam.
Lagipula ini pesta pertamaku, karena sebelumnya Mom pasti protektif soal ini.
Laura meminjamkanku salah satu gaunnya, dan kau tahu apa yang bisa diharapkan dari seorang Laura Welsh; gaun hitam pendek satu senti diatas lutut (dia bilang ini yang terpanjang yang ia punya) dan tanpa lengan, bahannya pun begitu ketat di tubuhku. Karena aku merasa tidak nyaman, Laura menambahkan jaket kulit Harley Davidson untukku, dan itu membuatku merasa jauh lebih baik. Setidaknya.
Begitu tepat pukul Sembilan, Violet datang menjemput kami bersama beberapa temannya, kudengar salah satunya mengenalkan dirinya sebagai Candice Hills, yang langsung mengingatkanku pada Alex. Aku penasaran apa si preman itu ada disana atau tidak, tapi kemungkinannya kecil karena itu hanyalah pesta kecil di dorm Austin dan Austin orang baik. Dan lagipula nyaris seminggu ini Alex lenyap entah kemana. Oh mungkin dia sedang cruise-tour dengan salah satu ceweknya di kapal pesiarnya, siapa peduli?
Beberapa menit kemudian kami sampai di dorm Austin. Dorm cowok tidak jauh dari dorm-ku, dan tempatnya agak berbeda. Ini lebih mirip kompleks perumahan dibanding dorm cewek yang berbentuk seperti gedung. Laura menjelaskan ini karena merupakan Dorm vip. Mobil kami parkir di salah satu rumah besar yang tampak hening dari luar. Beberapa mobil lain diparkir dibelakang semak-semak dan pepohonan yang mengitari rumah itu sehingga tidak tampak dari jalan utama.
“Memangnya mengadakan pesta itu dilarang?” gumamku. Dan Violet lah yang menjawabnya.
“Yea, beberapa orang menganggap pesta itu salah satu jalur menuju pergaulan bebas.” Katanya menutup pintu mobil. “Well, manusia kuno. Seks itu menyenangkan dan ini..” dia menyeringai berbahaya. “Ini jauh lebih menyenangkan. C’mon bitches!”
Laura berteriak menarik tanganku. Ya ampun. Awalnya kupikir ini hanya pesta biasa dengan teh dan nonton film, tapi kenyataannya begitu pintu terbuka musik berdebum keras yang mungkin nyaris menghancurkan gendang telingaku. Asap rokok memenuhi ruangan disertai wewangian aneh yang langsung membuat kepalaku pusing dan nyaris pecah. Di dalam, suara lebih keras lagi. Lampu dimatikan dan hanya cahaya warna warni lampu disko yang berputar mengitari ruangan.
Kami maju berdesak-desakkan. Para geng preman berteriak riang kecuali aku. Uh ini kacau, menggelikan, dan sangat parah! Oke, mungkin karena aku belum berpengalaman. Tapi tetap saja, bahkan aku tidak bisa melihat apapun kecuali lautan manusia.
Seseorang mendorongku masuk ke kerumunan pedansa. Dan aku tidak bisa melihat kemana teman-temanku pergi. Disini terlalu banyak manusia, aku mual dan.. well, kurasa aku akan muntah. Kuraih pegangan kayu di dinding, dan berdiri. Kemudian berjalan mengikuti pegangan kayu tersebut, aku tidak tahu kemana tapi kuharap aku bisa keluar sekarang juga.
“Minum, say?” seseorang menawarkanku gelas berisi cairan biru yang aku tidak tahu apa. Oke, tapi dari baunya kurasa itu bukan minuman yang dihalalkan oleh Ibuku. Aku mendongak menyipitkan mata, bahkan aku tidak bisa melihat wajahnya di kerumunan ini. Yang kulihat hanyalah cahaya biru, hijau, merah berpadu tangan tangan yang berdansa. Aku mempererat penganganku.
“Uh tidak, terima kasih.”
Demi Tuhan.
Terbatuk pelan, aku terus melangkah menelusuri pegangan. Sialan, dimana sih pintu belakang? Aku terbatuk lagi dan tersandung sesuatu. Tangga. Di lantai bawah asap rokok sudah mulai menyebar kemana-mana, tercampur oleh kabut aneh, dan aku belum menemukan pintu belakang. Entah tersembunyi atau memang tidak ada, aku tidak mau mengambil resiko terjebak di kumpulan pemabuk atau kanker paru-paru akibat menjadi perokok pasif dalam semalam. Lantas memberanikan diri, kulangkahkan kakiku menaiki tangga. Di lantai dua jauh lebih sepi, atau mungkin sepi sekali karena hanya ada lorong beserta pintu-pintu kamar. Baru beberapa langkah aku berpijak, langkahku langsung berhenti begitu mendengar suara bantingan pintu.
“Curse you, Adam!” seorang cewek berteriak meraung melempar sesuatu hingga pecah. “Fuck you! Fuck you! You asshole, don’t you dare to touch me again!”
Oops, wrong direction Lena.
Kuputar tubuhku canggung dan berjalan kearah sebaliknya. Ya Tuhan, neraka macam apa ini. Aku tidak mengerti bagaimana orang-orang ini bisa bicara seenak yang mereka inginkan. Kalau ibu mereka adalah Mom, aku yakin mereka bahkan takkan berani berbicara salah satu kata dari kata-kata kotor itu. Lalu, apa apaan sih ini? Aku tidak mengerti kenapa banyak orang suka pesta. Dan yang jelas aku tidak menyukainya. Takkan pernah.
Kuteruskan langkahku, tapi kali ini masuk ke dalam lorong gelap. Dan semakin kedalam, aroma-aroma aneh tersebut semakin menghilang berganti dengan aroma menenangkan. Dan diujung lorong terdapat ruangan dengan pintu terbuka― kamar mungkin?
“Halo? Ada orang didalam?” panggilku diambang pintu. Kuharap siapapun pemiliknya keluar dan membantuku keluar dari rumah aneh ini. Namun tampaknya pemilik kamar tersebut tidak ada karena kamar tersebut kosong dengan lampu dimatikan. “Halo?” kataku mengintip kedalam. Oke mungkin tidak sopan tapi siapa suruh meninggalkan kamar dengan pintu terbuka dan seorang cewek remaja di masa puber yang serba ingin tahu?
Kujulurkan kepalaku kedalam dan betapa terkejutnya aku mengetahui bahwa kamar tersebut jauh berbeda dengan suasana rumah ini. Kamar tersebut di desain minimalis sedikit perabot, lantai batu hitam, dinding hitam, ranjang minimalis hitam dan sebuah meja, lemari yang sewarna dengan yang lainnya. Langit-langitnya ditempeli susunan kertas hasil print-an gambar langit-langit cekung bergaya rococo. Dan disudut sana terdapat dua set rak berisi buku-buku.
Siapapun yang tinggal disini pasti cowok pintar berwawasan luas yang suka hal-hal berbau klasik― mungkin romantis. Aku tersenyum dan mengalihkan pandanganku. Dan kali ini tatapanku berhenti tepat di sebuah lukisan di dinding tepat sebelah tanganku. Lukisan tersebut disinari cahaya bulan yang merambat masuk dari celah-celah tirai. Warna tersebut― biru bercampur putih, buih-buih yang menabrak abu-abu dilatari langit jingga kebiruan.
Aku terkisap kaget.
Tidak, tidak, tidak mungkin.
Itu teluk rahasiaku dan Alex-ku di Beach City.
Aku mengerjap melongo memastikan bahwa ini bukanlah mimpi dan itu memanglah bukan. Tidak salah lagi, aku benar. Kecuali jika ada teluk yang identik dengan teluk rahasiaku di seluruh penjuru dunia. Aku tahu pemandangan itu. Setengah limbung dan terkejut, aku mundur beberapa langkah hingga punggungku menabrak dinding hidup. Kurasakan bubungan otot kencang dan dada yang bidang dibelakangku.
“Kalau aku jadi kau, aku takkan berani masuk kedalam.”
Aku tersentak begitu mendengar suara tersebut. Suara-suara dari alam mimpi burukku. Yang begitu kubenci sekaligus adiktif. Suara yang sangat kukenal. Perlahan, aku berbalik dan mendapati mata tersebut menatapku. Coklat musim gugur tetapi dingin. Menatapku begitu tajam seolah akulah mangsanya.
Alex Christensen.
KAMU SEDANG MEMBACA
{Heart String}
Teen FictionLena Gray yakin jika pacarnya- Alex Jackson adalah cinta pertamanya. Alex yang meskipun wajah mereka berbeda karena ia pernah kecelakaan sehingga merenggut wajah 'Alexnya' yang dulu serta ingatannya. Sampai akhirnya ia bertemu Alex Christensen. Pem...