Chapter 9: Don't Worry, Lena

528 42 5
                                    

Chapter 9

 

Ini buruk.

            Aku terpaku menatap Alex di kegelapan. Meskipun tanpa cahaya yang memadai karena satu-satunya penerangan hanyalah dari cahaya laptopku, aku tahu dia marah. Oke, mungkin tidak semarah itu tapi setidaknya dia gusar. Dalam beberapa menit, aku hanya dapat mendengar suara nafasnya yang naik turun, lain halnya dengan suara nafasku yang tidak terdengar karena kutahan.

            “Mana kunci mobilku, sialan.” Tuntutnya. Mungkin nyaris yang ke seribu kalinya. Dapat kudengar ia mengacak-acak meja.

            “A..aku tidak tahu.” Kataku tergagap pada akhirnya, dan langsung disambut oleh tarikan nafas tajam. Di kegelapan, dapat kulihat mata tajam Alex menusukku.

            “Apa?” ulangnya tidak percaya. “Laura mengirimkanku pesan kalau dia menitipkan kuncinya kepadamu, dan kau malah menjawab kalau kau tidak tahu?”

            Oh ya, kunci mobil. Laura menaruhnya di meja. Aku sendiri heran kenapa aku malah menjawab ‘aku tidak tahu’ kutarik nafas gugup singkat, mencoba mengurangi getaran pada diriku sendiri. “Di meja.” Balasku. “Laura menaruhnya di meja. Maaf, aku baru ingat.”

            Aku mendengar suara benda-benda terjatuh dan kertas-kertas yang tumpah. Alex mengacaknya— mungkin benar-benar mengacaknya. Setidaknya, aku membayangkan seberapa parah kerusakan yang berhasil ditimbulkannya. Kalau situasinya buruk mungkin flat ini berhasil menjadi replika kapal pecah. “Jangan memberantakinya.” Saranku agak keras. “Itu meja Laura, kalau kau mengacaknya aku tidak mau tanggung jawab atas—”

            “Tidak ada disini.” Alex menghela frustasi, nyaris marah. Dapat kudengar suara kertas terinjak dan ia masih sibuk mencari. “Kemarikan laptopnya, Gray.”

            Gray, duniaku seakan membeku. Itu panggilan pertama Alex-ku ketika kami baru pertama kali berkenalan. “Kau barusan memanggilku?” Aku mengerjap dan jantungku mulai berdebar.

            Kurasakan Alex berhenti dan menatapku— menyeringai nakal. “Kau lebih suka kalau aku memanggilmu jalang?”

            “Apa?!” aku melotot tidak percaya. “Kasar sekali!”

            “Nah, sekarang kemarikan laptopnya.”

            Aku mengerjap, masih tidak sadar betul. “Untuk apa?”

            “Kau bodoh ya?” ia menatapku seolah menimbang. “Aku tidak bisa melihat. Kaupikir mataku punya sinar ultraviolet?”

            “Tidak perlu sekasar itu.” balasku jengkel. Kuraih laptopku dan membawanya kearah meja. Alex memperlakukanku seakan aku keledai tapi sebetulnya aku tahu kok. Hanya saja bayang-bayang Alex lamaku selalu menghampiriku ketika aku menatapnya. Dan sekarang aku sadar, bodoh sekali aku menyamakan Alex-ku dengan Christensen. Bahkan tidak satupun hal dari Alex-ku yang bisa dibandingkan dengan brengsek ini. Aku mendumal kesal, tetapi jantungku malah berdebar semakin parah ketika cahaya laptop menerangi sebagian wajah Alex dan aku baru sadar kalau ternyata kami hanya berjarak kurang dari beberapa inci.

            Kami bekerja dalam diam dan entah bagaimana, itu membuatku sibuk menatapinya sekalipun aku tidak ingin. Alex lebih tinggi dua puluh senti daripada aku, dia memiliki mata dan rambut yang sewarna dengan dedaunan pada musim gugur— hanya saja bayangan membuat mereka tampak lebih gelap. Bulu matanya yang panjang dan gelap seakan menaungi matanya bagaikan tirai emas. Dia begitu tampan bahkan di kegelapan sekalipun. Aku jadi ingat bagaimana tubuhnya yang ramping ketika kemarin malam, lalu bibirnya...

{Heart String}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang