Chapter 17: I can play better

365 34 2
                                    

Chapter 17

Satu pekan berlalu semenjak kecelakaan yang menyebabkan kata-kata Alex membuatku menangis, dan aku sama sekali belum bertemu dengannya. Oke, mungkin dia merasa bersalah dan malu bertemu denganku, atau kemungkinan yang kedua, mungkin dia terlibat perkelahian antar geng yang menyebabkan dirinya terjebak di ranjang dengan tubuh babak belur dan kaki patah. Apapun itu, kuyakinkan diriku sendiri kalau aku tidak peduli. Dan sama sekali tidak.

            Ketika bel jam ketiga, kubanting pintu lokerku entah bagaimana merasa kesal sebelum akhirnya berlanjak menuju kelas berikutnya.

            Hari ini hari kamis. Kelas Morales, sastra bahasa, pelajaran kesukaanku.

            Dan Alex Christensen.

            Sialan Alex, masa bodoh dengan dia. Ada atau tidaknya Alex disana takkan mempengaruhiku. Dan kalau dia tidak datang, aku.. aku akan..

            Entahlah, senang mungkin?

            Kurapihkan peralatanku dan menyiapkan novel A Tale Of Two Cities-ku yang akan kami bahas nanti ketika Morales masuk kedalam kelas. Dan wow, dibelakangnya Alex masuk dengan earphone di telinga dan A Tale Of Two Cities ditangannya. Kurasakan entah bagaimana sudut bibirku naik menjadi senyuman, dengan cepat aku menahannya.

            Alex duduk disebelahku. “Hey.” Sapanya singkat.

            Wow, seorang Alex Christensen menyapaku? Jarang sekali. Aku membuka mulut hendak berbicara, atau marah-marah, atau justru menyapanya seperti― hey juga Alex, kemana saja kau belakangan ini? Berkelahi huh?― tapi, oh tidak. Tidak akan karena suara Laura dan Jude langsung terngiang di benakku. Dia tidak pantas untukmu, Len. Alex telah melukaiku dengan kata-katanya, bahkan ia membuatku menangis, bagaimana bisa aku mau berbicara kepadanya? Seolah aku akan peduli. Eww, never.

            Kurasakan Alex merasakan bahwa aku mendiamkannya, karena lantas ia mematikan ponselnya, begitupula lagunya. Dan lantas melirik kepadaku. “Kau berusaha mendiamkanku?”

            Kau tahu itu, sahutku dalam diam.

            Alex memiringkan wajahnya, tersenyum. Hal yang mengejutkanku sekaligus membuat seisi perutku menjadi tidak karuan. Ya ampun! Bagaimana mungkin dia bisa tersenyum padahal aku marah dengannya. “For the god sake, Len. Kau marah karena aku membuatmu menangis kemarin.”

            Seolah kehilangan peganganku, aku membelalak menganga. Demi tuhan.. DEMI TUHAN! Kenapa dia bisa tahu?!? Sumpah waktu itu aku melihat Alex sama sekali tidak menoleh menatapku, bahkan melirikku pun tidak! Ini mengerikan. Seharusnya dia tidak tahu kalau aku menangis kecuali dia mempunyai mata rahasia dibalik kepalanya atau apalah. Aku mengatupkan kembali mulutku dan mulai membuka A Tale Of Two Cities alih-alih membalas kata-kata Alex. Alex hanya berusaha memancingku, untuk jatuh kelubang yang sama. Dia akan menyakitiku, Alex menyakiti siapapun yang berada didekatnya.

            “Alright, then.” Ia menghela dan kembali ke posisi lurus, namun matanya masih melirikku. “If you don’t want to talk, I won’t force you.”

            Well, aku tidak tahan lagi. “Kemana saja kau kemarin?” semburku tanpa menatapnya, nyaris marah. Dan hal tersebut membuat Alex menoleh kembali menatapku.

            “Apa?”

            “Kubilang, kemana saja kau kemarin? Belakangan ini tampaknya kau tidak ke kampus, benar kan?”

{Heart String}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang