Angin berhembus semilir mengitari lereng Lawu. Sentuhan angin yang halus mampu merontokkan dedaunan kuning yang sudah tua. Di mana saat itu nyawanya tercabut seketika. Ia luluh. Dan diseret angin kesana kemari. Dedaunan berjatuhan menggenangi tanah. Hal itu lumrah terjadi. Apalagi saat masuk mongso ketigo (kemarau).
Sebuah bangunan kayu yang terletak di lereng Lawu nampaknya sudah terbiasa dengan banyaknya daun terserak. Sepertinya bangunan itu adalah sebuah padepokan kecil. Di tengah pelataran, tampak tiga puluh pemuda tengah berlatih kanuragan. Seorang pria berusia sekitar tujuh puluh warsa memperhatikan dengan seksama sambil tersenyum. Rambutnya putih meriap hingga punggung. Kepalanya memakai destar putih bahkan jubah yang dikenakan pun berwarna putih. Ki Wursita, begitulah mereka mengenalnya. Sementara itu, seorang pria berperawakan tinggi sedang memimpin latihan.
"Cukup, Surasena!" teriak pria tua tadi.
Pria bernama Surasena itu menjura dan keluar dari pelataran. Pria tua yang merupakan pendiri dan guru besar Padepokan Jagadita ini melangkah ke depan para muridnya. Seketika para muridnya menjura hormat.
"Aku melihat banyak sekali kemajuan dalam diri kalian, berbeda jauh saat kalian baru memasuki padepokan ini."
Ki Wursita memperhatikan satu persatu wajah para muridnya.
"Seto! Jagat! Mana putraku, Mandaka?" tanyanya pada dua orang pemuda yang berbaris di belakang.
"Kami tidak tahu, Guru," jawabnya bersamaan.
"Mungkin sedang bersama Tantri," sahut Seto pelan.
"Hhh... anak itu." Ki Wursita menarik napas agak berat, "semuanya boleh beristirahat, kecuali kau Umbara!"
***
"Aku semakin tak tahan saja dengan sikap putraku itu! Padahal dia adalah pewaris padepokan ini," keluh Ki Wursita pada Umbara.
Keduanya kini terlibat pembicaraan empat mata. Mereka duduk di serambi bangunan utama padepokan sambil menikmati wedang jahe. Udara lereng Lawu yang begitu ganas di malam hari dapat diusir dengan rasa hangat yang ditimbulkan jahe serta rempah lainnya.
"Saya juga pernah menasehati Kakang Mandaka tetapi dia tak mendengar, dia malah berbalik mengocehi saya," sahut Umbara.
Pemuda tampan berkulit sawo matang itu memang telah menjadi murid kinasih (terkasih) Ki Wursita. Sudah hampir satu dasawarsa (sepuluh tahun) Umbara menimba ilmu di padepokannya. Usianya hanya terpaut dua tahun lebih muda dari usia Mandaka. Tetapi kepandaian dan dalam hal kanuragan, Umbara lebih unggul tiga tingkat dibandingkan putra Ki Wursita itu.
Tanpa disadari, ternyata ada dua orang yang mencuri dengar pembicaraan mereka.
"Kakang Mandaka harus diberitahu!"
"Benar! Aku yakin Ki Wursita akan memberikan mandat kepada Umbara untuk meneruskan padepokan ini! Ayo!"
Dua orang berpakaian cokelat ini tak jadi melangkah saat melihat Mandaka datang sambil membawa guci berisi arak. Jalannya pun tampak sempoyongan.
"Mandaka!" panggil Ki Wursita.
"Bopo?" Pemuda yang dipanggil Mandaka mendekat.
"Kemana saja kau hari ini? Sampai sampai kau melupakan latihan sore tadi!"
"Maaf, Bopo, saya... saya..."
"Seberapa pentingnya gadis bernama Tantri itu hingga kau melupakan tanggung jawab sebagai calon penerusku di padepokan ini?"
Mandaka hanya diam.
"Sudah! Pergilah tidur!" suruh Ki Wursita.
"Baik, Bopo."
KAMU SEDANG MEMBACA
Renjana Berdarah
Historical Fiction...Tak lama terdengar suara seraknya menyanyikan tembang macapat Pangkur. Mangkono ilmu kang nyata... Sanyatane mung we reseping ati... Bungah ingaran cubluk... Sukeng tyas yen den ina... Nora kaya si punggung amung gumunggung... Ugungan sadina dina...