6. Adipati Gandrung

1.2K 60 4
                                    

Kejadian tadi malam di Padepokan Jagadita mengiris hati para penghuninya. Akibat kejadian itu, guru besar padepokan gugur oleh racun dari belati milik Tantri Kembang. Namun Mandaka beserta Bidadari Welirang akhirnya tewas ditangan Umbara dengan Aji Wiraga Seta. Ketiga teman Tantri dari Welirang juga tewas setelah mengalami luka dalam cukup parah. Berbeda lagi dengan Seto dan Jagat. Kedua anak buah Mandaka ini berhasil dilumpuhkan dan diberi hukuman, yakni menjadi pekerja padepokan dan diawasi.

Pagi ini setelah matahari terbit, diadakan upacara pembakaran jenazah untuk Ki Wursita. Surasena juga baru datang. Ia sedang diberi tugas oleh Ki Wursita saat malam tragedi itu terjadi. Di Padepokan Jagadita, Surasena sudah diangkat sebagai adik oleh Ki Wursita. Ia juga salah satu orang kepercayaan Ki Wursita selain Umbara. Beberapa orang brahmana merapalkan mantra sambil memutari tumpukan kayu tempat berbaringnya Ki Wursita. Kembang tujuh rupa ditaburkan bersamaan dengan api yang mulai tersulut, membakar perlahan tumpukan kayu di pelataran padepokan.

Asap hitam membumbung tinggi memenuhi langit. Gemeretak kayu yang disantap oleh api terasa menyayat hati. Ketika api melalap tumpukan kayu di mana tubuh Ki Wursita terbaring, Umbara turut menitikkan air mata. Begitu pula dengan para murid yang tersisa.

"Sudahlah Umbara, semua yang terjadi telah digariskan oleh para dewata. Inilah yang harus diterima manusia. Dalam hidup, kita semua hanyalah sebuah golek (boneka) sementara yang memainkan dan menentukan nasib kita adalah Sang Pencipta. Kita manut (menerima) saja kemana mereka akan menyuruh dan membawa kita." Surasena menasehati Umbara.

"Kakang benar." Umbara menghapus air mata di pipinya, "apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanyanya pada pria berusia tiga puluh warsa itu.

"Kau adalah pewaris Jagadita selanjutnya. Kau bertanggung jawab penuh pada padepokan ini. Ki Wursita berpesan agar aku membantumu membangun padepokan ini kembali, kau adalah murid kinasihnya, lakukan apa yang sudah dimandatkan Ki Wursita padamu," ucap Surasena meyakinkan Umbara.

"Tapi...."

"Kakang Umbara sudah diberi kepercayaan oleh Guru, itu berarti Kakang Umbara memang mampu untuk meneruskan kejayaan padepokan ini," sahut seorang pemuda.

"Benar. Kami mempercayakan padepokan ini kepada Kakang," sahut seorang lagi.

Yang lain ikut tersenyum dan mengangguk seperti menyetujui Umbara sebagai guru besar padepokan menggantikan Ki Wursita. Mereka juga telah menyebut namanya dengan kata 'Kakang' di depan. Padahal usia mereka lebih tua dibanding Umbara. Hal ini menyiratkan bahwa mereka sepenuhnya percaya padanya.

***

Taman kadipatenan Anjukladang tampak begitu indah pagi ini. Berbagai macam bunga bermekaran dan harumnya menyebar, menyapa lembut indera penciuman. Di pinggiran taman, terdapat beberapa resbang yang memang sengaja ditempatkan di sana. Terdapat saung kecil tepat di tengah-tengah taman. Dan di dekat saung terdapat pula kolam berair jernih yang dipenuhi teratai.

Adipati Anggabaya duduk termenung di salah satu resbang. Matanya menatap bebungaan indah yang mekar di pagi itu. Dari sekian banyak bunga yang ditanam, sang adipati hanya menyenangi bunga melati dan kantil. Di samping warnanya yang putih bersih, ganda harumnya pun bisa menyegarkan pikiran apabila sedang kalut. Setiap kali pengelihatannya melihat bunga-bunga segar, entah mengapa bayangan gadis waranggana kemarin malam selalu menggoda dirinya. Senyumannya begitu memikat. Matanya indah. Kulit seputih susu. Apalagi suaranya, sudah seperti alunan dari surgaloka.

Sesekali Adipati Anggabaya tersenyum-senyum sendiri. Tak pernah ia merasakan hal demikian selama hidupnya. Nampaknya Adipati Anggabaya tengah gandrung  (jatuh cinta) sekarang. Benar! Ia telah jatuh hati pada sang waranggana! Puspa Resmi!

Renjana BerdarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang