8. Di Ujung Asmara

1.1K 57 5
                                    

Langit senja terlihat murung. Angin berhembus kencang disertai gulungan awan hitam. Suasana pun meremang. Namun, keadaan alam seperti itu tak menyurutkan semangat dua ekor kuda yang dipacu cukup kencang. Dua ekor kuda itu menarik sebuah kereta. Kusirnya seorang pria berpakaian sederhana. Di sebelahnya duduk pula seorang pria tua dengan pakaian bagus. Di dalam kereta terdapat beberapa peti berukuran sedang. Entah apa isinya.

Sang kusir menarik kekang kuda setelah tiba di depan rumah berukuran sedang dan cukup bagus. Pria tua berpakaian bagus turun dari bangku kusir dan masuk ke halaman rumah. Perlahan ia mengetuk pintu. Engsel pintu berderit dan muncul seorang wanita berusia empat puluh warsa.

"Pinisepuh Naryama!" Wanita itu menjura hormat kepada sepuh Anjukladang itu, "silahkan masuk ke gubuk reot saya."

Pinisepuh Naryama memasuki ruang tamu rumah yang rapi dan bersih. Ia duduk di sana sementara wanita yang tak lain adalah Nyi Tirah menuju halaman belakang. Di sana, Ki Lungguh tengah membelah kayu bakar. Belakangan ini kesehatannya mulai pulih meskipun tak seperti masa mudanya dulu. Baru beberapa kayu yang berhasil dibelah, keringat mulai meleleh di dahinya. Segera pria tua itu mengelapnya dengan punggung tangan. Sementara Puspa Resmi yang melihat langsung mendatanginya.

"Tidak usah dipaksakan, Bopo. Kesehatan Bopo masih belum terlalu pulih, biar nanti saya saja yang membelah kayunya."

"Bopo merasa malu, bagaimana mungkin seorang bapak hanya duduk berpangku tangan sementara anak gadisnya yang mengerjakan pekerjaan kaum laki-laki di rumah," ujar Ki Lungguh sambil menunduk.

"Yang terpenting adalah kesehatan Bopo," bujuk Puspa Resmi.

Gadis itu pun membantu ayahnya berjalan menuju bangku kecil dekat pintu.

"Bopo istirahat saja." Telapak tangan Puspa Resmi menepuk bahu pria ringkih itu. Perlahan telapak tangan Ki Lungguh meraih telapak tangan Puspa. Diperhatikan dengan seksama. Telapak tangan yang biasanya halus dan putih itu sekarang terasa kasar dan kemerahan. Puspa Resmi tersenyum tipis. Semenjak bekerja pada Ki Rekso di sawah bersama para wanita lain, ia mulai terbiasa dengan ani-ani, semacam alat pemotong batang padi yang terbuat dari bambu dengan sebilah pisau kecil dan ukurannya tidak lebih besar dari telapak tangan. Untuk menggunakan alat itu, para wanita harus turun langsung ke sawah. Bergelut dengan daun padi yang kasar dan terkadang melukai kulit. Setelah padi dipanen, saatnya memisahkan bulir padi dari tangkainya menggunakan papan gebyok. Caranya dengan memukul-mukulkan batang padi pada papan kayu.

Setelah semua padi rontok dari batangnya, waktunya untuk menjemur hingga kering. Dan tumbuk menggunakan alu untuk memisahkan bulir padi dengan kulitnya.

"Sudahlah Bopo. Sekarang saya tahu jika ada banyak tenaga yang terbuang hanya untuk menghasilkan beras. Memang harus ada yang dikorbankan jika ingin makmur." Gadis itu mengambil keranjang bambu dan sebilah pisau kecil.

"Saya mau ke hutan, mencari tanaman obat untuk Bopo," ujar Puspa Resmi.

"Tapi, sudah mau hujan, Nduk."

"Saya tidak akan lama, Bopo," ucap gadis itu lagi disertai senyum tipis seakan menyuruh boponya untuk tidak khawatir.

Perlahan tubuh terbungkus pakaian warna hijau itu memudar dari pandangan matanya. Kemudian dari dalam dapur, Nyi Tirah muncul menemuinya.

"Kang! Ada pinisepuh datang," kata Nyi Tirah.

"Pinisepuh Naryama? Kira-kira ada apa?" bisik Ki Lungguh pelan. Beberapa pekan yang lalu, Ki Anjar datang berkunjung kemari. Mengundangnya dan juga putrinya untuk tampil di perjamuan antara sang adipati dengan pembesar kadipatenan. Dan sekarang Pinisepuh Naryama yang datang menemuinya. Ada apakah?

Renjana BerdarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang