15. Gawang-gawang

806 37 2
                                    

Padepokan Jagadita terlihat begitu sepi malam ini. Sentir ditaruh di halaman. Beberapa cantrik tengah duduk di bale. Sesekali lidah mereka menyesap wedang jahe untuk menghangatkan badan. Semuanya diam membisu. Raut wajah mereka menggambarkan keprihatinan. Entah kenapa, padepokan yang mereka tinggali selalu dilanda kemelut. Mulai dari penghianatan Mandaka hingga menyebabkan guru mereka tewas. Dan kini sang pengganti Ki Wursita juga tak tahu di mana keberadaannya.

Padepokan Jagadita kembali terpuruk. Banyak cantrik yang memilih meninggalkan padepokan. Tersisa beberapa orang cantrik yang masih setia tinggal di sana. Hal ini pun mengundang kedatangan Ki Jalasapta selaku kakak dari Ki Wursita. Ia begitu prihatin dengan nasib yang menimpa adiknya itu. Dikhianati oleh putranya sendiri. Dan kini padepokan yang dibangunnya dengan susah payah terancam hancur.

"Kau satu-satunya orang yang tersisa, Surasena. Apa kau rela jika padepokan ini lenyap seketika?" tanya Ki Jalasapta.

Surasena tampak menunduk. Sunyi malam begitu kentara di padepokan itu. Tak ada canda tawa. Mereka seperti tinggal dalam sebuah rumah di tengah hutan rimba. "Saya tidak punya hak penuh atas padepokan ini, Ki. Umbara adalah pewaris yang ditunjuk oleh Ki Wursita."

"Umbara?"

"Ya. Dia murid termuda sekaligus yang terbaik dalam hal olah tubuh dan batin. Bahkan dia menguasai aji Wiraga Seta yang diajarkan langsung oleh Ki Wursita. Dialah yang pantas memimpin padepokan ini!"

"Lalu di mana pemuda bernama Umbara itu?"

"Katanya dia ingin menjemput kekasihnya. Sampai sekarang dia belum kembali..." lirih suara Surasena.

Ki Jalasapta menghela napas. "Padepokan ini sudah di ujung tanduk. Kau harus membangunnya kembali walaupun tanpa Umbara!"

Surasena diam membisu. Karena sudah larut, Ki Jalasapta menyuruhnya tidur. Di dalam biliknya, Surasena tepekur memikirkan nasib padepokan ini. Ia juga bingung, kemana perginya Umbara? Haruskah ia menyusul ke Sendang Tirta untuk mencari tahu? Pasti sesuatu telah terjadi pada Umbara. Sungguh, hatinya begitu gundah. Surasena jadi tak bisa tidur malam itu.

Pagi-pagi sekali Surasena telah membersihkan diri. Ia berdiri di pelataran depan padepokan. Sepi. Hanya ada lima orang cantrik yang tengah menyapu dedaunan kering dan memangkas rumput liar. Lama pria itu terpaku pada keadaan padepokan. Ia menoleh saat dua orang cantrik mendekat ke arahnya. Dua cantrik itu nampak membawa buntalan kain berisi pakaian.

"Maafkan kami, Kang. Kami harus pergi..." ucap seorang dengan ragu.

"Benar. Kami punya kewajiban terhadap keluarga masing-masing. Padepokan ini sudah tidak memberi kami harapan lagi, jadi... kami mohon pamit pada Kakang. Sebelumnya kami mengucapkan terima kasih karena padepokan ini telah mau menerima dan mengajari kami," sahut cantrik di sampingnya.

"Kami tidak bermaksud melepaskan tangan dari kewajiban sebagai cantrik, tapi...."

Surasena mengangguk. Ia mengerti. "Aku tidak bisa memaksa kalian untuk selalu berada di sini. Di tempat sepi dan menyedihkan ini. Pergilah, kalau kalian ingin kembali suatu saat nanti, gerbang padepokan ini akan selalu terbuka...."

Dua cantrik itu menjura dan berjalan menjauh menuruni lereng Lawu. Punggung mereka semakin hilang di antara kabut yang turun pagi itu. Hati Surasena terpukul menyaksikan satu persatu cantrik meninggalkan padepokan tanpa kebanggaan yang dapat mereka ceritakan pada orang banyak.

"Surasena!" Ki Jalasapta memanggil dari pendopo masuk.

Pria mengenakan pakaian cokelat itu menoleh. Dilihatnya Ki Jalasapta mengangguk pelan. Mungkin benar! Ia harus mengambil alih padepokan ini! Demi kejayaan Jagadita!

Renjana BerdarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang