13. Api Dendam Cadasari

855 39 6
                                    

Seekor kuda cokelat tiba di depan gerbang kedaton Kadipatenan. Lewat cahaya obor yang terpancang di pinggiran jalan, dua orang prajurit yang berjaga berusaha mengenali siapa yang datang. Seorang wanita berpakaian merah berada di atas kuda cokelat. Mereka mengenalnya dan segera membukakan pintu. Sekali lagi kuda digebah dan masuk ke dalam lingkungan kedaton. Dua prajurit itu menjura hingga kuda itu semakin masuk ke dalam. Pintu gerbang kembali ditutup dan dua prajurit itu berdiri di samping gerbang untuk berjaga-jaga.

Kuda cokelat itu masuk ke kaputren. Seorang pekatik kemudian membawa kuda itu menuju kandangnya. Penunggangnya pun memasuki bangunan yang memang diperuntukkan bagi permaisuri dan putri kedaton. Tak heran jika tempat itu hanya dihuni oleh para wanita. Pria tidak boleh memasuki tempat itu. Bahkan prajurit yang berjaga pun ditempatkan di luar tembok tinggi kaputren.

Seorang wanita yang memakai pakaian merah itu terus masuk ke dalam kaputren. Para dayang yang berpapasan dengannya menghaturkan sembah. Sama sekali keberadaan mereka tak digubris olehnya.

"Widati, ikut aku!" Suara itu seperti memendam kemarahan.

"Baik, Gusti." Dayang bernama Widati itu segera mengikuti langkah junjungannya. Widati harus sedikit berlari agar tak tertinggal jauh. Keduanya memasuki sebuah kamar berukuran besar yang terang oleh cahaya pelita. Wanita berpakaian merah duduk di tepi ranjang, sementara Widati duduk dengan kaki terlipat ke belakang di lantai.

"Syukurlah Gusti Dewi sudah pulang."

"Widati, beri tahu aku apa yang terjadi di Kadipatenan selama aku pergi?"

Dayang itu terlihat agak gelisah. Wajahnya tertunduk, bingung harus bicara apa.

"Kaulah dayang kepercayaanku, jangan sembunyikan sesuatu dariku!"

"Saya takut Gusti akan...."

"Aku tidak lemah, Widati!" Nada suara sang permaisuri di Anjukladang ini agak meninggi. Widati tak mampu lagi membantah kalau sudah begini.

"Gusti Adipati... telah mengambil seorang selir... perkawinannya sepekan lalu," jawab Widati terbata.

"Ternyata benar semua kabar itu...."

"Seandainya Gusti Dewi tidak meninggalkan Kadipatenan mungkin hal ini tidak akan terjadi."

"Di mana Kanda Adipati?"

"Di... di kamar Dewi Puspa Resmi."

Bukan main, kemarahan dan kecemburuan membuncah dari dada Cadasari. Ia berusaha menekan dalam-dalam dengan cara menarik napas dan menyuruh Widati mengambilkan air. Setelah amarahnya menyurut, Cadasari mendatangi kamar putranya. Sungguh, ia sudah sangat merindukan Antakesuma. Berbulan-bulan mereka tak bertemu. Dilihatnya anak itu tertidur pulas di atas tempat tidur. Cadasari tak tega membangunkannya. Ia menyadari jika tubuhnya amat lelah kini. Secara perlahan tubuhnya naik ke atas tempat tidur dan memeluk Antakesuma. Kelopak matanya mulai terkatup, Cadasari mencoba melepas lelah dan kekecewaan dalam hatinya.

***

Rumah Ki Anjar tak terlalu besar. Sejak ia mengabdi sebagai penasihat kadipaten, ia tinggal di rumah itu. Ki Anjar hingga umurnya setua itu sama sekali tidak pernah campur dengan perempuan. Dulu Adipati Anggabaya pun ingin mengikuti jejaknya untuk tidak beristri. Dengan bijaksana Ki Anjar menerangkan jika hal itu tidak baik dilakukan oleh seorang pemimpin.

"Sebuah negeri butuh seorang penerus. Apa jadinya jika sebuah negeri tidak memiliki seorang penerus yang berasal dari trah raja sebelumnya. Negeri itu akan pecah oleh perselisihan dan pertikaian karena mencari siapa yang pantas menjadi pemimpinnya. Pertumpahan darah akan terjadi dan lama-kelamaan negeri itu akan pudar kejayaannya dan hilang dimakan waktu, begitu pula dengan sebuah kadipaten apabila tidak memiliki pewaris."

Renjana BerdarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang