Namjoon adalah salah satu anak yang terlahir untuk menjadi penindas. Tubuhnya lebih mirip gorila dibanding seorang remaja, dan dia punya watak seperti Rottweiler yang habis dikebiri oleh seseorang menggunakan sepasang gunting karatan.
Terdapat banyak cara untuk menindas seseorang, dan Namjoon adalah ahli di kesemuanya. Dia memalak uang jajan, menggunduli kepala di toilet, menghajar anak-anak dan bahkan mencubit bokong siswi di lorong. Tapi hal yang membuat Namjoon benar-benar menjadi penindas adalah ayahnya.
Pria itu adalah versi Namjoon yang lebih besar dan jelek, dan pada dasarnya dia adalah pemilik kota yang kami tinggali ini, dan tampaknya dia berpikir bahwa dia juga menguasai para warganya.
Jika seseorang mengingatkan Namjoon bahwa dia tak boleh menampari pantat para cewek di koridor, kau bisa bertaruh akan ada beberapa panggilan telepon dan kemudian orang itu akan kehilangan pekerjaannya. Terima kasih untuk ayah tersayang Namjoon.
Sampai hari ini kadang aku masih bertanya-tanya, mungkinkah kejadian mengerikan yang akan menodai sejarah kota ini untuk selamanya ini bisa dihindari jika saja seseorang mau bertanggung jawab. Tapi tak ada yang mau melakukannya, dan kurasa aku tak akan pernah tahu.
Peristiwa itu bermula dari masalah sederhana: Namjoon punya ketertarikan khusus untuk membuat hidup salah seorang anak menjadi lebih pedih. Jeon Jungkook kecil terlalu mudah untuk menjadi sasaran; dia kurus, pucat, dan anak-anak memanggilnya “orang-orangan sawah” karena tambalan di bajunya.
Tentu saja itu bukan salah Jungkook jika ibunya miskin dan tak bisa membelikan baju baru untuknya, tapi kau tahu anak-anak bisa menjadi kejam hanya karena melihat orang lain berbeda.
Aku sendiri, aku hanya memanggilnya Jungkook.
Setiap hari Namjoon akan berseru memanggil Jungkook di koridor: “Hei orang-orangan sawah! Datanglah kemari agar aku bisa menghajarmu!” Dia pikir lelucon itu sangat pintar hingga dia mengulanginya setiap hari, dan jika Jungkook tidak tertawa, dia akan berakhir dengan kepala terjebak di dalam toilet.
Semua berlalu seperti itu untuk sementara waktu.
Tak ada yang mau repot-repot untuk membela Jungkook, dan pakaiannya yang kedodoran menyembunyikan bekas luka yang mulai tumbuh seperti akar pohon di bawah lengannya. Aku tak pernah mengerti kenapa orang-orang di dunia ini selalu berakhir menghukum diri mereka sendiri dengan lebih parah, tapi kurasa memang seperti itulah dunia bekerja.
Jungkook akhirnya diam sepenuhnya.
Dia tak mau bicara pada siapa-siapa, tak mau menatap matamu; si anak takut pada bayangannya sendiri. Kita semua berpikir ini tak akan pernah bertambah buruk, tapi kukira takdir tak mau peduli dengan gagasan kita, karena pada minggu itu ibu Jungkook meninggal, dan dalam beberapa hari seluruh kota tahu bahwa dia ditemukan dengan sebuah jarum di lengannya.
Jika itu adalah alasan penangguhan hukuman berarti Namjoon tak melihatnya. Malahan, dia berpikir sebaliknya; mangsanya tengah terluka, dan sekarang waktunya bergerak untuk membunuh.
“Kudengar ibumu mati,” dia berbisik di bawah napasnya saat tak ada guru, “kuharap aku bisa menemukannya. Meski ibu bodohmu hanya tinggal serpihan.
“Sekarang kau tinggal bersama nenekmu, kan? Mungkin aku akan mengunjunginya malam ini, kurasa dia sudah lama tidak berkelahi.”
Tak ada yang memperhatikan saat luka di lengan Jungkook menyebar hingga dada dan kakinya, atau bagaimana wajahnya berkedut setiap kali hinaan Namjoon bergaung di belakang matanya.
Tak ada yang tahu bahwa dia mulai menulis di buku hariannya tentang betapa inginnya dia mencuri pistol kakeknya dan mengakhiri ini dengan caranya sendiri.
Kadang kau akan melihat kisah tentang bocah seperti Jungkook di berita dan bertanya-tanya kenapa tak ada orang yang mau membantunya, kenapa tak ada yang tahu apa yang sedang terjadi di dalam kepalanya. Jawabannya sangat sederhana; karena memalingkan muka lebih mudah.
Kenyataan yang lebih jelek adalah, lebih sedikit orang yang mau menghadapinya, karena mereka harus bertanya pada diri sendiri kenapa selama ini mereka hanya diam.
Hari terakhir sebelum peristiwa itu Namjoon menyudutkan Jungkook sepulang sekolah dan mengahajarnya hingga nyaris mati. Saat Jungkook pulang hari itu wajahnya sudah seperti satu pon daging sapi mentah, dan dia memandang dirinya sendiri di cermin, dia putuskan bahwa besok adalah hari dia akan mengakhiri ini.
Dia menyelinap ke kamar neneknya malam itu dan mengambil pistol .357 tua milik kakeknya dari bawah tempat tidur. Dia tak tahu di mana tempat peluru tambahannya, tapi dia tahu neneknya membuatnya selalu terisi peluru untuk jaga-jaga jika ada penyusup.
Pagi berikutnya dia menyelipkan pistol di balik ikat pinggangnya lalu menutupinya dengan kaus. Dia tak memeriksa apakah senjatanya terisi; dia bahkan tak mau memandangnya.
Dan dia menutup rahangnya rapat-rapat dengan tekad bulat kemudian mengejar bus. Saat sampai di sekolah dia menemukan banyak kerumunan di luar lapangan sepak bola. Bersyukur atas penundaan itu, dia menyelip di antara bahu dan siku untuk sampai di depan kerumunan, dan saat itulah dia melihat Namjoon.
Mantan penindasnya telanjang, dibelah dari kepala hingga jari kaki dan terikat di tiang gawang, jeroan keluar dari lubang tempat kulitnya diberek. Matanya hanya berupa lubang kosong, dipatuk burung sebelum orang sempat menemukannya. Dan di atas kepalanya, seseorang telah menaruh sebuah topi orang-orangan sawah tua.
Jungkook pergi setelahnya dan pulang. Dia sedikit berkedip padaku saat melewatiku, yang duduk di kursi goyangku dan merajut. Dia langsung menuju kamarnya dan jatuh di tempat tidur. Itu kali pertama dia tidur dengan nyenyak setelah sekian lama.
Itu beberapa hari sebelum berita menyebar ke seluruh kota bahwa si bocah baru saja dibunuh, dan saat polisi pergi untuk mengabari ayahnya... mereka juga menemukan ayahnya terbunuh.
Sampai hari ini mereka masih belum menemukan siapa pelakunya.
Awalnya polisi mencurigai Jungkook, dan mereka pasti sudah menanyaiku lusinan kali apakah aku melihat cucuku meninggalkan rumah pada malam itu, tapi aku selalu mengatakan hal yang sama.
Aku terjaga semalaman menonton TV dan aku pasti melihatnya jika dia pergi. Bisa dibilang semua orang itu pasti menganggapku pikun, tapi tak ada satu pun yang berani mengatakannya di depan mukaku.
Yah, aku sudah tua sekarang, dan kupikir aku tak punya banyak waktu tersisa, jadi kupikir sekaranglah saatnya mengatakan yang sebenarnya: aku tak tahu di mana Jungkook pada malam itu karena aku tak di rumah.
Aku sedang di rumah Namjoon. Dan aku sedang memastikan agar tak ada seorang pun yang memanggil cucuku ‘orang-orangan sawah’ lagi.
Dan tak ada yang pernah melakukannya lagi.