Sebenarnya yang sakit bukan pasal tidak dihargai tapi ini pasal melepaskan apa yang belum sempat dimiliki
🌟🌟🌟
Elyn berjalan masuk ke dalam sekolahnya. Sebenarnya dia sendiri enggan masuk ke sekolah, tapi entah kenapa dia merasa ingin pergi. Bahkan mamanya telah menyuruhnya untuk tidak berangkat. Sedangkan Gavin. Cowok itu bahkan ngomel-ngomel tak henti-hentinya."Lihat jalan lo. Nanti nyungsep gue sukurin!" ujar Gavin berjalan beriringan dengan Elyn.
"Lo dari tadi ngoceh mulu nggak capek apa?!"
"Mending lo pulang sekarang!"
"Nggak!" tegas Elyn berulang kali. Dia masih melangkah. Walau pelan, tapi dia akan buktikan jika dia baik-baik saja.
"Yaudah kalo gitu. Lo sekarang lari ke dalam kelas lo. Buktiin kalo lo sehat, tapi kalo lo tiba-tiba jatuh. Kita pulang!" tegas Gavin menatap tajam kearahnya.
"Gimana?" tanya Gavin menaikan sebelah alisnya. Elyn menelan salivanya susah payah.
"Gu-gue nggak mau! Ngapain lari-lari orang jalan juga nyampe" elak Elyn melanjutkan jalannya.
"Kalo gitu lo takut."
"Nggak!"
"Ayo buktiin sama gue. Mana sikap batu lo? Gituan doang lo takut?" cibir Gavin. Elyn ingin sekali menyumpel mulut Gavin. Emang tuh mulut nggak enak banget kalo ngomong.
"Serah lo! Gue nggak peduli." ujar Elyn dan pergi dari sana. Gavin masih di sana mengamati kakaknya yang berjalan. Dia merasa jika kakaknya tidak baik-baik saja setelah saat itu.
Elyn masuk ke dalam kelasnya. Dia mendudukan tubuhnya di kursi menghiraukan Tion, Sila dan Dion yang menatapnya heran. Dia menidurkan kepalanya di atas meja dan memejamkan matanya. Jika boleh mengatakan kepalanya sakit, tubuhnya juga sakit, tapi dia tidak ingin selalu mengeluh dan membebankan orang lain.
Sila yang sedari tadi menatap Elyn mengulurkan tangannya menyentuh dahi Elyn pelan.
"Lo kenapa pake masuk segala sih Lyn? Badan lo panas gini" ujar Sila membuat Elyn yang tengah memejamkan matanya terusik namun tak membuatnya membuka mata.
"Bangun Lyn. He bangun!" ujar Sila menepuk badan Elyn pelan
"Lyn, bangun. Dengerin gue" ujar Tion. Elyn masih diam enggan membuka matanya.
"Lo itu sakit Lyn. Muka udah pucet. Ngapain dipaksa sih!"
"Kalo keadaan kek gini batu lo jangan digunain" lanjutnya.
Dan Elyn. Semua tau jika Elyn itu keras kepala. Jika dia bilang iya ya iya kalo dia ngelakuin sesuatu itu harus dilakuin bahkan jika semua orang melarangnya.
Elyn meringsek membuka pelan matanya.
"Kalian ngapain berisik? Emang udah ada gurunya?" tanya Elyn parau."Lihat diri lo. Lo itu sakit!" jawab Sila kesal.
"Gue sehat Sil. Jangan kek Gavin deh"
"Kenapa wajah lo pucet kalo lo sehat?" tanya Tion.
"Gue nggak pucet. Mata kalian aja itu yang salah" Tion berdecak. Ingin sekali dia menyeret Elyn dan membuangnya ke laut.
"Gue mohon lo ke uks ya Lyn. Istirahat di sana. Nanti gue izinin guru" bujuk Sila.
"Nggak"
"Mau gue seret apa jalan sendiri?!" tegas Tion. Dia tidak berniat membentak hanya saja sikap batu Elyn membuatnya kesel sendiri.
"Sans dong" ujar Dion memegang bahu Tion.
"Gue nggak papa. Kalian jangan alay deh. Gue kuat" ujar Elyn memalingkan wajahnya membuat ketiganya menghela nafas berat.
KAMU SEDANG MEMBACA
AGAIN
Teen Fiction[COMPLETE] Seorang gadis yang memiliki masa lalu yang membuatnya trauma akan cinta. Hingga suatu ketika bertemu seseorang yang akan merubah kehidupannya. Dan merubah segalanya. Merubah kebahagiaannya. "Gue nggak tau lo itu ternyata buruk. Dimata gue...