Di Gerbang Perbatasan Desa Konoha
Langit mulai berwarna jingga ketika tim berkumpul di gerbang perbatasan Desa Konoha. Udara sore yang sejuk menyapu wajah mereka, sementara angin lembut berdesir di antara dedaunan. Kakashi dan Guy berdiri di depan, memimpin misi yang melibatkan Naruto, Sakura, dan kedua orang tua Naruto, Minato dan Kushina. Ini adalah misi besar, namun suasana di gerbang tampak sedikit aneh.
“Baik, ayo pergi dengan semangat!!” seru Kakashi penuh gairah, senyum lebar terlihat di balik maskernya. Suara semangat yang biasanya identik dengan Guy kini keluar dari mulut Kakashi, membuat situasi ini semakin aneh.
Di sisi lain, Guy terlihat lemas, duduk dengan ekspresi kelelahan yang tak biasa. Pandangannya sayu, dan semangat masa mudanya yang legendaris seolah hilang tanpa jejak. "Tidak ada semangat yang tersisa... sulit untuk tetap menerima misi..." gumamnya dengan nada putus asa, wajahnya menghadap tanah. "Kita bahkan bukan lagi pemuda."
Kakashi yang menyadari perubahan temannya, berjalan mendekat dan menepuk pundak Guy dengan penuh empati. “Jangan menyerah, tetap semangat!” ucap Kakashi sambil memberikan jempolnya dengan gaya khas Guy, mencoba menyemangati rekannya yang sedang dalam kondisi terbalik.
Sakura memperhatikan interaksi mereka dari jauh dengan bingung, “Apa mereka tertukar satu sama lain?” bisiknya pelan kepada dirinya sendiri, tidak percaya melihat Kakashi yang biasanya santai kini bersemangat seperti Guy, sementara Guy justru terlihat putus asa.
Di depan rombongan, Naruto berdiri sendiri, memisahkan diri dari keramaian. Ia menatap jauh ke depan, wajahnya penuh dengan kebingungan dan kemurungan. Pikirannya tampak melayang, seolah tak ingin terlibat dalam apa yang sedang terjadi. Langkah-langkahnya tak beraturan, mencerminkan kekacauan dalam benaknya.
Kushina yang selalu perhatian pada anaknya, segera mendekat. Ia menepuk punggung Naruto dengan kekuatan yang lembut namun penuh kasih. “Ada apa dengan wajah depresimu itu?” tanya Kushina, nada suaranya riang meski ada sedikit kekhawatiran. “Kau harus pergi dengan keberanian, Menma! Kau harus terlihat keren di depan putri pahlawan.”
Namun, sentuhan Kushina tidak disambut dengan baik. Naruto dengan cepat menepis tangan ibunya, menatapnya dengan sorot mata penuh penolakan. “Berhenti menyentuhku!” teriaknya sebelum berlari menjauh, meninggalkan Kushina yang terdiam di tempatnya.
Kushina menatap punggung anaknya yang semakin menjauh dengan perasaan bingung. “Ada apa dengannya? Apa dia sedang memasuki masa pubertasnya?” bisiknya, bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Tatapannya berubah sedikit khawatir, namun Kushina selalu mencoba memahami anaknya. Di kejauhan, Minato memperhatikan dengan tenang, tak berkata apa-apa, namun tatapannya penuh pengertian.
Sakura yang melihat Naruto berlari menjauh, merasa perlu untuk menghiburnya. Ia mengejar Naruto dengan cepat, napasnya sedikit tersengal ketika berhasil mendekatinya. “Hei, kau tidak seharusnya—” ucap Sakura mencoba berbicara, tetapi sebelum ia bisa menyelesaikan kalimatnya, Naruto memotongnya dengan suara penuh emosi.
“Bagaimana jika ini terjadi padamu?!” teriak Naruto dengan amarah yang meluap-luap. Matanya memancarkan rasa frustasi yang mendalam. “Aku bukan Menma!”
Sakura terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Kata-kata Naruto menggantung di udara, seolah membuka luka yang dalam. Sakura tahu bahwa dunia ini bukanlah dunia Naruto, bahwa di sini dia dikenal sebagai Menma, dan peran itu membuat Naruto tersiksa.
“Naruto…” ucap Sakura pelan, nadanya penuh simpati. Dia ingin membantu Naruto, namun tak tahu bagaimana. Dalam sekejap, suasana yang semula riuh penuh semangat kini berubah menjadi tegang dan penuh perasaan, seperti bayang-bayang gelap yang tak terlihat mulai menyelimuti hati Naruto.