Naruto dan Sakura berjalan beriringan pulang dari kantor Hokage. Langit mulai memerah seiring matahari terbenam, namun suasana di antara mereka terasa berat. Naruto nampak kesal, kedua tangannya terkepal erat di sisi tubuhnya, sementara Sakura meliriknya sesekali, mencoba mencari momen yang tepat untuk membuka pembicaraan.
Setelah beberapa saat yang canggung, Sakura akhirnya memberanikan diri untuk berbicara. "Aku sangat terkejut," ucapnya, suaranya lembut namun terdengar jelas di antara langkah mereka yang beradu dengan jalan berbatu. "Um… aku tidak menyangka orang tuamu akan—"
Tiba-tiba, Naruto menghentikan langkahnya dan dengan penuh emosi, ia memukul tembok terdekat dengan kedua kepalan tangannya. “Arrghh!! Madara si*lan!” teriaknya marah, suaranya memecah kesunyian senja. “Dia mempermainkan semua orang! Bahkan menciptakan kepalsuan ini…”
Sakura terdiam, hatinya berat melihat Naruto yang begitu marah dan bingung. Ia memahami perasaan Naruto, dunia yang mereka pijak ini adalah campuran mimpi dan kenyataan yang tak mereka pahami sepenuhnya. “Aku tahu…” balasnya pelan, suaranya terdengar penuh simpati.
Naruto membalikkan tubuhnya, matanya yang biru dipenuhi tekad dan kemarahan. “Aku harus bergegas mendapatkan gulungan itu sebelum Madara melakukannya!” katanya dengan nada penuh penekanan, “Dan keluar dari sini!”
Sakura hanya bisa mengangguk. Meskipun dia khawatir dengan apa yang akan mereka hadapi, dia tahu Naruto tidak akan mundur begitu saja. Mereka harus segera bertindak sebelum kenyataan palsu ini menjadi jebakan yang tak bisa mereka lepaskan.
…
Di rumah Sakura, suasana terasa lebih tenang, namun tak sepenuhnya damai. Sakura duduk di meja makan dengan makanan kaleng berserakan di hadapannya. Ia makan dengan cepat, seolah mencoba menenangkan pikirannya yang kacau. Di vas yang ada di tengah meja, berdiri sebuah bunga yang diberikan oleh Sasuke, mengingatkannya pada momen masa lalu yang penuh harapan.
Sambil mengunyah makanannya, pikiran Sakura melayang pada apa yang terjadi hari ini. “Ada orang-orang yang telah mati namun hidup kembali…” gumamnya pada dirinya sendiri, memandangi bunga yang anggun itu. “Dunia macam apa ini?” Mata hijaunya menyipit, mencoba mencari logika dalam kenyataan yang kini mereka hadapi. Di dunia ini, begitu banyak hal yang tak masuk akal—orang tua Naruto hidup kembali, meskipun di dunia nyata mereka telah tiada.
Sakura tersenyum kecil, pandangannya tertuju pada bunga di vas itu. Kenangan akan Sasuke menghangatkan hatinya, tetapi ketidakpastian yang melingkupi dunia ini membuat senyumnya cepat memudar. Ia kemudian melanjutkan makan dengan lebih pelan, pikirannya tetap dipenuhi oleh kecemasan tentang Naruto.
“Orang tua Naruto hidup…” Sakura bergumam pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri. “Aku ragu kalau dia akan baik-baik saja.”
...
Di rumah yang tampak berbeda dari yang dulu, terasa kehangatan yang belum pernah Naruto rasakan. Rumah ini lebih besar dan hangat, dibeli oleh orang tuanya—sebuah rumah yang penuh kenangan keluarga yang seharusnya menjadi miliknya.
DOK! DOK! DOK! Kushina menggedor pintu kamar Naruto dengan keras. Dari dalam kamar, Naruto terlihat menumpuk berbagai benda berat seperti lemari dan meja di depan pintu, berusaha untuk menguncinya dari dalam. Ia duduk di pojokan kamar, wajahnya cemberut dan pikirannya kacau.
“Berhenti bertingkah dan keluarlah, Menma!” teriak Kushina dari luar, suaranya terdengar tegas. “Aku katakan makan malam sudah siap.”
Naruto yang masih duduk dengan tubuh merosot di dinding kamar, merespons dingin, “Kubilang aku tidak lapar, makanya tinggalkan aku sendirian.” Pandangannya kosong menatap lantai, penuh penolakan. “Huh, aku tidak akan tertawa dan duduk dengan kebohongan ini.”
BLLLARRRRRR!!! Tiba-tiba, suara ledakan keras memenuhi udara. Kushina, dalam kemarahan penuhnya, menghancurkan pintu kamar dengan kekuatannya yang luar biasa. Potongan kayu berhamburan ke segala arah, dan langkahnya yang berat terdengar seolah raksasa mendekat.
“Beraninya kau mengabaikanku?!” Kushina berdiri di ambang pintu dengan rambut merahnya yang kini berdiri tegak seperti api yang menyala. Mata tajamnya memancarkan kemarahan. “Kau sepertinya kehilangan pikiranmu dan bertingkah seperti itu!”
Naruto, yang melihat kemarahan ibunya, panik dan berteriak ketakutan, “Uwaaaaaa~~~!!!” Tubuhnya berguling menjauh dari Kushina, sementara hatinya menciut oleh rasa takut.
Minato yang mendengar keributan dari ruang tengah segera berlari masuk ke kamar. Wajahnya tenang tapi penuh kewaspadaan. “Sebaiknya kau mendengarkan ucapan ibumu,” kata Minato sambil mencoba menjaga ketenangan. “Kau tidak lupa julukan ibumu, kan? Akai Chishio no Habanero?”
Naruto menoleh ke arah ayahnya dengan tatapan putus asa, berharap ayahnya bisa menyelamatkannya. Namun Minato hanya tersenyum canggung, menyadari bahwa ia pun tak akan bisa menolong anaknya dalam situasi ini. “Kau akan makan bersama kami, kan?” Kushina bertanya lagi, nadanya tegas, tanpa celah untuk menolak.
Ekspresi Naruto jelas menunjukkan bahwa dia tahu tidak ada jalan keluar. Dia menyerah dengan berat hati dan akhirnya mengikuti kedua orang tuanya ke ruang makan.
Di meja makan, suasana terasa canggung. Naruto diam, sesekali mencuri pandang pada orang tuanya yang tengah menyantap makanan. Perasaan asing muncul di dadanya, rasa yang tidak pernah ia kenal sebelumnya—makan malam bersama keluarga.
Beberapa saat berlalu, dan Naruto menyelesaikan makanannya lebih cepat dari biasanya. Ia meletakkan sumpitnya dan berkata dengan nada datar, “Aku sudah selesai.”
Minato menatap Naruto dengan pandangan lembut, lalu menoleh ke arah Kushina yang mulai tertidur di atas meja. “Menma, keluarkan cucianmu jika ada,” katanya sambil menyelimuti Kushina dengan penuh kasih.
Naruto mengalihkan pandangannya dengan kesal, “Aku bisa mencucinya sendiri,” balasnya dengan nada yang masih dipenuhi pemberontakan.
Minato mengamati anaknya dengan seksama. Ada yang berbeda dari Naruto hari ini. Ia terlihat gelisah. “Kau tidak terlihat senang… Apa kau sedang bertengkar dengan Sakura atau apa?”
Naruto tetap diam, enggan menjawab. Suasana hening sesaat, hingga akhirnya Naruto berdiri dari kursinya dan berjalan keluar dari ruang makan. Saat ia hampir mencapai kamarnya, sesuatu menarik perhatiannya—sebuah album foto yang tergeletak di atas meja di lorong.
Penasaran, Naruto mengambil album itu dan mulai membukanya. Halaman demi halaman menampilkan foto-foto keluarga mereka; Minato, Kushina, dan dirinya—senyum mereka begitu cerah dan hangat, sesuatu yang tak pernah ia rasakan di dunia nyata. Melihat foto-foto itu membuat dada Naruto terasa sesak, seolah-olah ada beban yang ia tak tahu harus bagaimana menghadapinya.
“Tidak biasanya kau melihat album foto itu,” suara Minato terdengar tiba-tiba, lembut namun penuh perhatian. Minato berdiri tak jauh dari Naruto, matanya tertuju pada album yang dipegang anaknya.
Naruto membalik halaman dengan cepat, lalu menjawab dengan nada sinis, “Kenapa tidak?” Dia menatap tajam ayahnya, rasa frustrasi mencuat di matanya. “Oh ya, kenapa kau meminta kepada nenek Tsunade untuk mengizinkanku pergi denganmu?!”
Minato mendesah ringan, seolah paham mengapa anaknya begitu gusar. “Itu karena kupikir kau pasti punya alasan untuk pergi…” jawabnya sambil melanjutkan membersihkan piring di meja. “Putraku bukanlah tipe anak yang memohon tanpa alasan, kan?”
Naruto terdiam, hatinya perlahan-lahan melunak. Meski ia masih berusaha keras menolak kenyataan ini, ucapan ayahnya membuat sesuatu dalam dirinya bergetar.
“…Aku tidak punya alasan apapun,” ucap Naruto pelan, dengan nada yang sedikit goyah.
Minato tersenyum lembut, penuh pengertian. “Baiklah, itu mungkin karena hubungan ayah-anak.” Setelah mengucapkan itu, Minato berjalan pergi, meninggalkan Naruto sendiri di lorong dengan album foto di tangannya.
Naruto tetap berdiri di sana, menatap halaman-halaman album itu dengan campuran emosi. Setiap foto membawa kenangan yang tidak pernah ia miliki—momen-momen kebahagiaan yang seharusnya menjadi miliknya, namun takdir berkata lain. Pandangannya berkabut, dan dalam keheningan, ia merasakan perasaan yang begitu asing, perasaan yang mungkin ia dambakan lebih dari apa pun selama ini.