"Jadi, yang donorin mata ini Aluna?"
Pertanyaan yang Guanlin berikan begitu menohok ulu hati, mereka terdiam. Bingung akan menjawab apa.
Guanlin menganggukkan kepalanya dua kali, melihat dari raut wajah mereka, ia sudah sangat jelas tahu apa jawabannya.
Guanlin terkekeh, kekehan yang semakin keras dan mengandung unsur pilu bagi siapa saja yang mendengarnya. Air matanya mengalir, tidak terima dengan takdir yang Tuhan berikan padanya.
Untuk pertama kalinya, Guanlin mengetahui apa itu arti sebuah kehilangan.
***
Guanlin termenung di samping jendela yang tirainya sengaja ia buat terbuka. Ia menatap matahari yang secara perlahan turun dan akhirnya tergantikan senja.
Hidupnya tidak pernah terasa semenyakitkan ini, tidak pernah ia merasakan sesak yang begitu menyiksa asanya.
Hampir satu bulan telah berlalu dan ia bisa diperbolehkan pulang besok. Dan sampai saat ini juga, ia masih belum menemukan informasi mengenai Aluna.
Kilasan kejadian, kenangan yang menurutnya indah ketika bersama Aluna kembali berputar bagai kaset rusak. Ia telah sering membuat Aluna sakit, sengsara dengan perilakunya, namun tak pernah ia mendapatkan penolakan atau keluhan dari Aluna setelah tiga bulan semenjak Aluna menjadi siswa baru.
Mungkinkah ini karmanya?
Kalau memang ini karmanya, ia pantas mendapatkannya.
Namun...
Bolehkah Guanlin memohon untuk yang pertama kalinya setelah sekian lama ia melupakan sang Kuasa?
Ia hanya ingin membuat Aluna bahagia semampu yang ia bisa.
Menebus dosa yang telah menumpuk menjadikkannya alasan ia semenderita sekarang.
Lamunan Guanlin buyar ketika sang Mama berjalan mendekatinya, ia mengusap surai Guanlin lembut lalu mengucapkan kata penenang yang malah membuat Guanlin tegang tak beralasan.
"Aluna baik-baik aja di sana, kamu gak usah khawatir."
***
Alina tersenyum kosong. Netranya tidak memancarkan gairah hidup, ia hanya menatap tanah basah yang seperti baru saja digali.
Ia tidak mampu menangis, bahkan hanya untuk mengucapkan sepatah katapun ia tidak bisa.
Dosanya telah melampaui batas. Mungkinkah ini ganjaran yang Tuhan berikan padanya. Ia ikhlas menerimanya, asal putri yang ia kandung sembilan bulan, ia besarkan dengan setengah kasih sayang itu sadarkan diri dari komanya.
Aluna mengalami shock berat ketika mendapatkan pelecehan dari teman sebayanya. Niat hati membawa Aluna ke Madrid untuk terapi, mencegah depresi yang berkemungkinan besar akan terjadi. Namun manusia hanya bisa berencana sedangkan Tuhan yang menentukan, 'kan?
Ya, pesawat yang mereka tumpangi mengalami kecelakaan, pesawat mereka terjatuh di salah satu pemukiman warga yang ia tidak tahu nama daerahnya sama sekali. Beruntung mereka selamat, kecuali Aluna.
Sudah hampir satu bulan setengah Aluna belum juga sadarkan diri. Belum lagi mata Aluna yang sengaja didonorkan atas permintaanya sendiri, Alina tidak mampu menolak.
Ia terisak pilu, sampai sepasang tangan kekar memeluknya dari belakang, membisikan kata-kata dengan senyum syahdu yang sama sekali tidak bisa membuat sang terkasih merasa tenang.
"Jangan terus-terusan mengeluarkan air matamu, aku tidak suka." Jeda, "aku telah menemukan seseorang yang tepat untuk mendonorkan matanya, begitu juga aku akan menjamin kesehatan Aluna sampai ia sadar. Sampai kapanpun. Kau percaya padaku, Alina?"
- numb -
Widih, inget punya wattpad kau al? Inget punya hutang cerita di sini kau al? Masih ada yg nunggu ff ini? :'D
KAMU SEDANG MEMBACA
Feeling any Numb'ness?
Fiksi Penggemar"Ganteng sih, tapi jahat udah gitu mesum lagi." "Bukan gitu. Dia suka, cuma caranya ngungkapin tuh beda."