♧ Hour 0 ♧

11K 1.3K 69
                                    

"Lepaskan aku." Dan dia melakukannya.

"Lagian kenapa kau di sini?" Aku bertanya selagi membuat jarak darinya.

"Aku di toilet selama sejam, lalu begitu keluar kulihat lampunya padam." Ia menjelaskan dengan menggunakan tangannya, menunjuk atap, "Kemudian kudengar ada yang berteriak dan aku tersadar itu kau." Ia selesai menjelaskan.

"Kenapa kau memakai ini? Di mana celanamu, Taehyung?" Aku bertanya, menunjuk boxernya yang berwarna biru gelap dengan bintang-bintang berwarna kuning.

"Kutinggal di toilet." Ia menyeringai.

"Cepat pakai." Menghela napas, aku berusaha tidak menatap paha dan tungkai kakinya yang terekspos.

"O... apa ini membuatmu bergairah?"

"Pakai saja celanamu, Kim Taehyung! Aku sedang tidak ingin berdebat."

"Bokongku panas, aku lagi mendinginkannya," katanya dengan tampang polos.

Aku ingin tertawa, namun di saat yang sama aku tidak ingin menyerah.

"Who dafuq would want to cool theirnevermind. Lupakan saja." Aku mendesis seraya menitih langkahku ke arah jendela kaca dan ia mengikutiku.

"Kenapa kau sangat membenciku?" Suaranya pelan, tapi jelas.

"Bagaimana kita keluar dari sini?" Aku mengabaikannya. Yang kuinginkan hanyalah keluar.

"Chaemin-ah ... kenapa kau membenciku?" Ia mengulanginya lagi dan aku tidak tertarik untuk menjawabnya.

Aku melihat ke luar jendela, mencoba menemukan seseorang namun aku tahu kalau tidak akan bisa. Mal ini berada di bagian Seoul yang terletak sungai Han di satu sisi dan jalan raya di sisi lainnya. Semua jendela di mal ini menghadap ke sungai dan aku tahu berusaha menemukan seseorang di sungai adalah hal bodoh dan sia-sia untuk dilakukan, tapi melakukan ini lebih baik ketimbang berbicara dengan pemuda di belakangku.

Beberapa detik berlalu sebelum aku mendengar sebuah helaan napas, ia membuatku berhadapan dengannya, dan mendorongku menekan kaca. Tangannya berada di kedua sisi kepalaku, ia dekat namun tubuhnya tidak menyentuhku. "Aku bertanya sesuatu padamu, Chae." Ia mengeram, nama panggilanku terlontar dari mulutnya membuat mataku tak sengaja membulat.

"Aku tidak membencimu. Sekarang lepaskan aku." Aku berusaha mendorong dadanya namun ia tidak bergerak.

"Kalau begitu kenapa kau bersikap seperti ini padaku?"

"Aku tidak tahu, Tae. Tolong sekarang menyingkir." Suaraku terdengar seperti bisikan, namun masih dapat didengar.

Ia menarik diri dan memalingkan wajahnya. Terlihat jelas ada kekecewaan di wajahnya, namun sejauh aku mengenalnya, ia bukan tipe orang yang mudah menyerah.

Aku tidak membenci Taehyung. Nyatanya aku membenci diriku karena sangat menyukainya. Aku benci bagaimana sempurnanya ia saat melakukan apapun. Aku benci bagaimana semua orang mencintainya, bagaimana semua orang merupakan temannya, bagaimana semua perempuan ingin berada di ranjangnya, bagaimana orang-orang membiarkan setiap kesalahan yang dia perbuat. Aku benci kenyataan kalau ia tidak akan pernah menyadari keberadaan orang sesederhana dan sebiasa diriku. Aku benci karena tahu tidak akan pernah jadi miliknya dan ia tidak akan pernah jadi milikku. Aku membenci itu. Aku membenci semua itu.

"Menurutmu kita harus bagaimana?" Ia bertanya, menarik kesadaranku kembali.

"Aku ... aku akan tidur di kursi yang di sana dan menunggu sampai pagi." Aku mengendik.

Ia menggeleng, senyum mengejek tercetak di wajahnya seolah ide itu tidak cukup bagus.

"Kalau begitu kau punya ide yang lebih baik?" tanyaku, memiringkan kepalaku satu sisi.

"Ikut denganku." Ia menarikku bersamanya. Aku tidak dapat melihat dengan jelas ke mana ia membawaku sampai ia memakai ponselnya menyalakan sinar ponsel.

"Kita mau ke mana?"

"Bagian perabotan," jawabnya cepat.

Tampak barisan ranjang yang berjejer. Yang mewah, yang bernuansa hitam putih polos, ranjang bertingkat untuk anak-anak, ranjang sendiri dan yang bukan. Ia melompat ke salah satu yang dipajang dan menunjuk ke ranjang yang di sebelahnya. Aku tersenyum sebelum merangkak naik. Aku tidak pernah memikirkan sesuatu yang ... secerdas ini?

"Sini ponselmu, aku perlu menghubungi Soojin."

"Tidak," katanya sebelum menyelimuti dirinya di ranjang.

"What the hell, Taehyung? Dia pasti khawatir aku belum pulang. Aku harus mengabarinya."

"She'll be fine, babe. Just sleep."

"Don't 'babe' me! Aku kesini membelikanya pembalut, bodoh. Dia harus tahu!"

"Kau kesini untuk membelikannya apa?" Ia tertawa, menyorotiku dengan cahaya.

"Malam." Aku menatapnya sengit sebelum menjatuhkan diri pada matras di bawahku.

Soojin bisa mengurus masalahnya sendiri malam ini tanpaku.

***

21 Juni 2018

24 Hours ➳ KTHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang