Prologue

19.7K 1.5K 31
                                    

Air masih menetes dari rambutku begitu aku melangkah keluar dari kamar mandi kemudian memakai celana pendek dan baju kebesaran.

Sabtu malam lainnya bersama sahabatku di mana yang kami lakukan adalah berada di tempat tidur dan menonton film, makan apapun dan di manapun. Setelah kurang lebih sejam aku beranjak untuk mengganti kaset DVD.

"Hey, aku butuh pembalut," rengek sahabatku sembari berguling di ranjang, memegangi perutnya. Menatapku dari sudut matanya, ia semakin menjadi-jadi.

"Sekarang sudah pukul 09.00. Toko tidak akan buka semalam ini." Aku menatap sekilas jam yang terpasang di dinding.

"Iya, tapi mal tutup pukul 09.30. Kau punya waktu tiga puluh menit untuk membelikan beberapa untukku. Aku tidak punya satupun!"

"Besok akan kubeli. Ada satu dalam tasku di sa-"

"Sudah kupakai. Aku lagi lancar-lancarnya dan kalau kau tidak membelikanku pembalut, aku akan membanjiri tempat tidurmu dan-"

"Aku buang air kecil dulu," kataku cepat.

"NO! Aku banjir! Apa buang air lebih penting ketimba-"

"Iya, iya! Aku pergi sekarang." Aku bergumam seraya meraih ponselku serta uang. "Semoga aku sampai sebelum mereka tutup."

***

Naik taksi adalah keputusan terburuk yang pernah kubuat. Pengemudinya adalah seorang pria tua yang tak membiarkan jarum mobilnya melebihi angka enam puluh. Ia memerlukan dua puluh menit untuk menurunkanku di mal yang seharusnya hanya butuh sepuluh menit berkendara.

Mal itu lengang dan beberapa toko sudah tutup, dan hanya ada beberapa penerangan serta beberapa pekerja yang menyapaku.

"Nona, kami akan tutup dalam sepuluh menit," ujar pria dengan kain pel basah di tangannya.

"Iya, aku tahu. Tidak akan lama."

Ia mengangguk dan aku bergegas melewatinya ke arah lift. Jemariku baru saja akan menekan tombol, namun aku tersadar mereka sudah mematikannya. Menaiki tangga aku menuju ke lantai dua, ke arah medical store.

"Pembalut!" Aku menghembuskan napas selagi berusaha mengatur napasku.

"Tck." Wanita itu menunjukan ekspresi kesal padaku sebelum menyalakan lampu dan berjalan masuk. Ia baru saja akan pergi dan aku membuatnya membuka toko lagi -jelas sekali ia kesal.

"Merek apa?" tukasnya sambil menatapku.

"Uh, 'whisper'," bisikku.

"Ini." Ia menyerahkan kantongan padaku dan aku langsung membayarnya. Ia mengikutiku keluar.

Memeriksa ponselku, tersisa lima menit lagi dan aku benar-benar harus buang air. Aku bisa saja menahannya sampai tiba di rumah tapi aku masih punya waktu, dan cuma butuh kurang dari tiga menit untuk buang air, 'kan?

Aku berlari ke toilet dan bergegas masuk. Ternyata lebih cepat dari perkiraanku. Aku berjalan keluar bilik lalu memutar kenop dan aku tetap di sana. Kenopnya tidak bisa diputar! Aku tidak bisa membuka pintu sialan ini. Aku panik dan menggunakan kedua tanganku berusaha memutarnya namun jelas sekali pintunya terkunci dari luar.

"Shit!" Aku mengumpat dan melayangkan kepalan tanganku ke pintu kayu itu.

"Tolong!" Aku berteriak sekeras mungkin. Kalimat-kalimat lain seperti 'tolong buka' , 'pintunya terkunci', 'apa ada orang di luar?', 'tolong aku!', terlontar dari mulutku. Di saat aku terus berteriak dan memohon bantuan, aku tidak sadar itu sudah lebih dari tiga puluh menit.

Setelah waktu yang lama, aku kehilangan harapan terakhir yang kumiliki dan sebelum air mata menetes dari mataku, pintunya terbuka dengan suara klik. Hatiku membuncah, aku meraih kantongan yang kuletakkan di sudut dan berjalan keluar.

Segala kepanikan yang sirna beberapa detik lalu langsung kembali begitu aku tersadar semua lampu padam dan mal ini hanya disinari oleh cahaya rembulan yang menyusup lewat jendela kaca.

Tidak terlihat tanda-tanda kehadiran seseorang, bukan berarti aku bisa melihat banyak hal. Rasanya jantungku dapat copot kapan saja. Aku terkunci di dalam mal, sendirian dan tidak tahu harus berbuat apa. Aku melakukan hal pertama yang kurasa benar. Aku menjerit.

"TOLONG! TOLONG, AKU MASIH DI DALAM! JANGAN KUNCI AKU DI SINI, KELUARKAN AKU, SIALAN!" Dan aku berlari menuruni eskalator yang tidak bergerak.

Sebelum aku melakukan apapun sebuah tangan menarikku dari belakang dan membekap mulutku. Aku meronta dan berusaha menyelamatkan diri sebelum aku mendengar sebuah suara bariton yang membuatku menghentikan semua aksiku.

"Shh... berhenti menjerit," katanya.

Aku tahu siapa itu, kuharap aku tidak mengenalnya. Aku bisa mengenai suara itu, tapi kuharap itu bukan dia. Aku tak apa selama itu bukan dia -aku lebih baik mati ketimbang menghabiskan semalaman terkunci di mal dengan anak ini.

Aku bergeming selama beberapa detik, dan ia menyingkirkan tangannya dari mulutku. Berbalik, aku melihat orang yang paling kubenci.

"Taehyung?"

"Iya, babe. Ini aku." Ia menyeringai.

°°°

Original: shooknae

19 Juni 2018

24 Hours ➳ KTHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang