♧ Hour 19 ♧

6.4K 748 4
                                    

Di saat mataku terpejam, jemarinya mengusap rambutku. Ini adalah salah satu saat di mana berada dalam keheningan bersama seseorang terasa begitu nyaman dan menenangkan. Aku tenggelam mendengar Taehyung menggumamkan "hm", jemarinya memainkan rambutku, dadanya bergerak naik turun sementara aku masih duduk di pangkuannya, mataku hanya terbuka untuk mengintip orang yang sangat kucintai ini, aku sampai tidak menyadari getaran ponselnya.

"Tch." Ia menggunakan tangan lainnya untuk mengambil ponselnya yang baterainya tinggal 12%.

"Yo!" Ia menjawab panggilan dengan santai, sekarang mataku sudah benar-benar terbuka, hanya fokus padanya.

"Apa?! Kapan?!" Ia panik, nada suaranya tinggi dan begitu jelas, membuatku terjungkal.

Ia langsung berdiri, matanya memerah, napasnya tersengal-sengal dan ia hanya menelan udara kosong.

Khawatir, kuletakkan tanganku di bahunya, mengusapnya, alisku mengernyit menatapnya.

"Sial! Sial! Buka pintu sialan ini! Sial, keluarkan aku dari sini!" Ia nyaris berteriak.

Gerakkan tanganku terhenti dan terkulai ke sisi tubuhku. Taehyung menjauhkan ponsel dari telinganya lalu menatapnya tajam, tangannya bergerak di atas layar ponselnya mencari kontak.

"Semuanya baik-baik saja?" Suaraku nyaris tidak terdengar.

"Apa tampaknya begitu?" bentaknya.

Aku menelan ludah. "Apapun itu, semuanya akan baik-baik saja, Tae." Aku berusaha menenangkannya tapi dia nyaris tidak memperhatikan sama sekali.

Menekan ponsel ke telinganya, ia berkata, "Apa itu benar?"

Ia menunggu jawaban dari lawan bicaranya. Meskipun aku tidak tahu itu pembicaraan soal apa, kuharap apapun itu, sebaiknya tidak begitu serius.

"Kenapa kau tidak memberitahuku?" Suaranya melembut, bahunya lemas dan tangannya langsung memegang tanganku untuk mendukung keseimbangannya.

Memegang Taehyung erat dan kuusap punggungnya, menatapnya dengan kepedulian.

"Aku akan ke sana, tolong- Aku akan ke sana." Lalu ia memutuskan sambungan.

Ada banyak pertanyaan yang ingin kuajukan tapi di titik ini aku tidak bisa mengucapkan satu patah pun. Aku harus membiarkannya melakukan apa yang ia lakukan dan mendoakan yang terbaik.

Selanjutnya Tae menghubungi Jimin, "Jimin-ah..." Suaranya keluar saat ia terisak, membuat mataku berair, "Ji-Jimin-ah." Ia menarik napas dalam. Kueratkan tanganku dan memeluknya lebih dekat. Tolong tetaplah baik-baik saja, Tae.

"Aku tahu. Kami akan mengeluarkanmu dari sana dalam lima belas menit. Kami sudah di jalan!" Aku bisa mendengar apa yang dikatakan Jimin.

Taehyung tidak merespon. Tangannya di bahuku mengendur untuk sedetik sebelum mencengkeram bajuku, menarikku semakin dekat.

"Apa Chae di sana?" Kudengar Jimin bertanya. Tanganku langsung bergerak meraih ponsel, nyaris menyambarnya dari Tae, menekannya di pipiku, "Katakan padaku, Jimin."

"Kami akan di sana dalam beberapa menit, tolong jaga Taehyung. Jangan biarkan si tengik itu menyakiti dirinya." lalu ia memutuskan sambungan.

Saat kurasakan Taehyung ambruk, kusingkirkan ponselnya. Ia duduk di lantai dan aku langsung duduk di sebelahnya, melingkarkan tanganku di pundaknya, memeluknya.

"Semuanya akan baik-baik saja," gumamku.

"Tidak...." Tangannya melingkariku lalu ia membenamkan kepalanya di dadaku.

Ia terisak, tangannya mencengkeram bajuku. Aku memeluknya dalam diam, mengusapnya pelan-pelan dan kurasakan air matanya membasahi dadaku. Berselang sebentar ia membuat jarak, mengedipkan bulu matanya yang berat karena air mata sebelum kembali memelukku, kesedihannya semakin memburuk. Rasa sakit itu pasti datang bertubi-tubi, untuk beberapa saat setelah terisak selama beberapa menit, akhirnya ia berhenti ketika mengatur napasnya dan dirinya kembali terpuruk setelahnya.

Rasanya menyakitkan melihatnya ada dalam pelukanmu seperti ini, dapat memeluknya namun tak mampu menenangkannya. Aku hanya diam selama beberapa menit sampai terdengar suara yang kami berdua kenali.

Taehyung menarik diri, mengusap matanya. "Maaf, aku janji akan kembali." Suaranya parau.

"Tae, tidak apa! Tolong jangan menyakiti dirimu sendiri!" kataku cepat, mengecup pipinya sembari menggenggam bahunya erat.

"Aku harus pergi," ujarnya.

Aku mengangguk dan bergeser memberinya jalan. Beberapa langkah pertamanya dilalui dengan mengambil langkah cepat dan selanjutnya yang kuketahui adalah dia berlari menuruni eskalator.

Aku berdiri di sana dengan tangan terkepal. 'Apa aku harus mengikutinya? Apa dia baik-baik saja jika sendiri?' Aku sangat khawatir.

Detik berlalu sampai seseorang berperawakan tinggi menghampiriku dan meraih lenganku, "Jinnie?" seruku panik.

Bagaimana bisa kakakku tahu kalau aku ada di sini? Sial. Sial!

"Ayo pulang." Adalah apa yang ia katakan saat menarikku. Jalannya pelan namun langkahnya lebar hingga membuatku kesulitan mengimbanginya. Kami memasuki ruangan yang terlihat seperti ruang penyimpanan, ia membuka pintu tebal berbahan logam yang menuntun kami ke jalan di sebelah mal.

Kupikir aku punya enam jam lagi bersama Tae, tapi hidup tidak selalu memberi apa yang kau inginkan.

Aku merasa terusik atas apa yang membuat Tae sedih, namun di saat yang bersamaan aku juga khawatir soal kakakku, pergi ke mal dan mendapatiku hanya berdua dengan Taehyung.

"Jinnie ..." panggilku. Kami hampir tiba di apartemennya dan aku berusaha untuk bicara dengannya.

"Taehyung tidak akan apa-apa. Dia bersama Jimin," jelasnya, dan aku sudah sedikit lega.

"Maaf."

"Bukan masalah."

"Apa yang terjadi? Kenapa dia kesal?" Berjalan langkah cepat untuk mensejajarkan langkahnya.

Memperlambat langkahnya, ia menjawab, "Ini menyangkut Oma-nya."

****

T/N : Oke jadi ... im not really satisfied with the result of this part ._. Mungkin part ini akan kuperbaiki, tapi kalo kalian ngerasa ada bahasa yang harus kuperbaiki please just let me know. Bahasaku gk sekaya itu -i really knew that ._.

And please stay healthy, guys  ♥

12 Oktober 2018

24 Hours ➳ KTHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang