♧ Hour 20 ♧

6.1K 740 7
                                    

Tiga hari kemudian~

Tak ada pesan. Tak ada panggilan. Aku tidak mendapat kabar apapun dari Taehyung dan hal itu semakin membuatku khawatir.

Apa dia baik-baik saja? Apa dia masih menangis? Aku ingin bersamanya, tapi tak ada yang bisa kulakukan. Bahkan hanya untuk mengiriminya pesan aku sangat takut, tahu kalau saat ini dia pasti bersama keluarganya. Aku tidak mau menjadi pengganggu.

Kulempar kaleng soda ke keranjang sampah saat kudengar ponselku bordering.

Kuharap itu Taehyung, aku berlari meraih ponselku.

Panggilan masuk: Jungkook

"Halo?" Aku langsung menjawabnya.

"Hei! Chae?"

"Ya, ini aku." Kudekatkan ponselku ke telinga.

"Pakai sesuatu yang bagus. Taehyung akan segera menjemputmu." Suaranya sangat tidak bersemangat dan dia memutuskan sambungan sebelum aku merespon.

Taehyung akan menjemputku?

Ada perasaan gugup tentang hal ini. Aku menelan sesuatu yang terasa membuat tenggorakanku tercekat sebelum mengambil pakaian yang layak dari lemari, sesuatu yang tidak terlalu berwarna.

Aku tidak tahu kapan Tae akan muncul, jadi aku duduk di ruang tamu menunggunya, aku sangat ingin bertemu dengannya.

Tok Tok!

Aku terkejut dan nyaris tersandung saat berjalan ke pintu yang jaraknya hanya sekitar empat kaki.

"Tae!" Aku tersenyum, membawanya dalam dekapan tanpa berpikir dua kali. "Aku lega kau baik-baik saja."

"Hm. Ayo pergi." Ia bergumam, nyaris tak menunjukkan emosi apapun.

Aku melepasnya. Mengangguk, membuat diriku nyaman di boncengan motornya sebelum kami melaju.

_____

"Kita mau ke mana?" Cairan bening di mataku nyaris pecah saat dia membawaku ke bagian dalam rumah sakit.

"Aku ingin kau bertemu seseorang," ujarnya yang nyaris seperti bisikan.

Kugigit bibirku, membiarkannya menuntunku. Kami berhenti di depan sebuah pintu kaca, Taehyung menggenggamku tanganku erat sebelum membuka pintu. Kutarik napas dalam-dalam, mengedipkan mataku beberapa kali agar air mataku tidak menetes. Tolong jangan menangis.

"Diminum dua sekaligus." Suara perawat menarik perhatian kami untuk sesaat sebelum kualihkan pandanganku ke arah ranjang di bangsal.

Wanita itu berbaring di sana. Berambut putih dan kulit berwarna cerah, berbalut selimut putih dan jarum yang tertancap menembus venanya. Kerutan dan lipatan di kulitnya begitu tampak hingga sulit membayangkan bagaimana rupanya saat masih muda. Namun beliau sedikit mirip dengan Taehyung atau bisa kubilang, Taehyung mirip dengannya.

"Oma." Taehyung meletakkan tangannya di bahunya dan beliau membuka matanya.

Rasa lega yang besar meliputiku. Oma masih hidup.

"Ini Chae." Taehyung tersenyum, senyum kotak yang tak kulihat beberapa hari ini.

Matanya beralih menatap wajahku dan aku tersenyum padanya. Bola mata yang tersembunyi di balik kelopak mata itu langsung bergerak, membuatku ingin memeluknya.

Tangannya terulur ke arahku dan aku langsung menggenggamnya.

"Kau lama sekali." Beliau memberi Tae tatapan sengit, membuatku terkekeh.

"Halo, sayang." Beliau tersenyum dan benar-benar mirip seperti Tae.

Aku membalas sapaannya. Berjalan mendekatinya, "Senang bisa bertemu dengan Oma."

"Harusnya Oma yang bilang begitu! Anak ini tidak ada hentinya membahasmu!" Sekali lagi beliau menyoroti Tae dengan tatapan tajam.

Aku memandang Tae sekilas sebelum kembali memandangnya. "Bagaimana perasaan Oma sekarang?" tanyaku.

"Sesehat kuda, nak." Ucapnya bangga. "Sebenarnya, ini bukan masalah serius. Tapi Taehyung sangat peduli soal kesehatanku jadi-" Beliau menggantung kalimatnya.

Taehyung pergi membelikan Oma jus buah segar dan aku membantunya duduk, bersandar pada bantal yang keras sebelum kami mulai menjadi dekat.

Setelah berbincang selama beberapa saat barulah aku tahu, Oma pingsan di dapur yang diakibatkan karena tekanan darahnya sangat turun dan tanpa penanganan selama hampir sejam. Hanya pada saat Namjoon muncul mengantarkan belanjaan yang beliau minta, barulah Namjoon melihat beliau terbaring di sana dengan kondisi sekarat dan tubuh dingin. Sebut itu keberuntungan atau karena cinta Taehyung padanya hingga beliau selamat.

"Uri Taehyung sangat manis, 'kan?" tanyanya, untuk kesekian kalinya.

"Iya, benar." Aku tertawa, "Dia juga bodoh. Dia tidak memberitahuku soal Oma dan aku sangat khawatir padanya," kataku menambahkan.

"Oma minta maaf karena membuatnya jauh darimu selama dua hari. Dua? Atau tiga hari?" Beliau diam sebentar, "tiga hari, 'kan?"

"Iya, dan tolong jangan .... Dia cucunya Oma, Oma bisa melakukan apapun yang diinginkan padanya." Jemariku mengusap punggung tangannya.

Ingatan tentang aku dan Taehyung, berlarian; Oma –menghentikan kami, memberikan kami masing-masing satu buah cupcake dan kami kembali berlari, muncul dalam benakku dan aku semakin menggenggam tangannya ke arahku.

"Oma banyak berubah sejak terakhir bertemu," tuturku.

"Bukan kau yang harusnya bilang begitu, Chae. Saat Oma terakhir melihatmu, kau masih sekitar umur sepuluh tahun. Lihat dirimu sekarang." Alisnya terangkat dan membuatku tertawa.

"Apa aku mengganggu sesuatu?" Sebuah nada bariton menggema dan kami berdua tahu siapa itu.

Aku menoleh menatap Taehyung, sementara Oma menjawab. "Iya, pergi sana."

"Oh, baiklah." Ia berbalik, bersiap pergi.

"Berikan jusku dan pergi." Beliau terkekeh, suaranya sedikit serak namun tidak mengurangi sisi menawannya.

Sebagai tanggapan, anak itu tertawa saat memasuki ruangan dan menyodorkan gelas berisi jus semangka berukuran sedang. Begitu hangat melihat kedekatan keduanya dan aku merasa sangat diterima dan dicintai berada di sekitar mereka meskipun yang kulakukan di sini hanya duduk dan bicara.

Beliau meminumnya sedikit, "Kenapa orang meminum jus semangka? Secara teknis ini semua isinya hanya air, 'kan?"

Aku mengangguk sebelum mengendikkan bahu.

"Kau harusnya membelikanku milkshake." Beliau memandang Taehyung dan melihat Taehyung memutar bola matanya.

***

15 Oktober 2018

24 Hours ➳ KTHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang