Waktu menunjukkan pukul tujuh malam lewat tiga puluh menit. Jung Jaehyun, sepupu sekaligus atasannya dikantor, masih berada diruang kerja. Tidak ada tanda-tanda sama sekali bahwa lelaki itu akan keluar dari sana. Dan, Ten hafal betul tabiat lelaki itu. Dengan mudah, dia mengambil kesimpulan, hari ini mereka kembali lembur.
Ten beranjak dari ruang kerjanya sendiri, lalu mengetuk pintu dua kali sebelum masuk ke ruang kerja sepupunya. "Jaehyun, proposal untuk rapat besok sudah selesai. Kau ingin memeriksanya?"
Jaehyun tidak mengalihkan pandangan dari berkas-berkas di atas meja. Lelaki itu menjawab, "Berikan saja kepada Mingyu. Biar dia yang memeriksa. Tapi, ingatkan Mingyu agar menyelesaikan proposal itu sebelum rapat besok pagi. Sebelum pukul delapan, proposal itu sudah ada di mejaku."
"Ada yang lain?"
"Apa kita sudah menerima daftar harga dari Jay White?"
"Mereka mengirim tawaran lewat faks tadi sore. Sedang kuperiksa."
"Oke." Jaehyun membalas singkat, lalu mengakhiri instruksinya.
Ten bertanya lagi, "Setelah ini, aku akan menelpon Neocafe. Kau mau pesan apa untuk makan malam?"
Sepupunya itu tidak langsung menjawab. Perhatian Jaehyun masih tersita oleh pekerjaan. Dia justru balas bertanya, "Kau pesan apa?" seolah-olah lelaki itu bingung menentukan menu makan malam atau barangkali memang tidak mau ambil pusing.
"Lasagna dan tuna," jawab Ten.
"Kalau begitu, sama."
"Oke. Kau mau salad juga?"
"Boleh."
Ten mengangguk. Sebelum dia keluar ruangan, Jaehyun sempat memanggilnya kembali. Kali ini, lelaki itu menatapnya sambil tersenyum masam. "Maaf, Ten. Lagi-lagi aku membuatmu lembur," ujarnya.
"Tidak masalah," jawab Ten. Dia balas tersenyum.
Ten dan Jaehyun adalah sepupu jauh. Ten memiliki sedikit saham di perusahaan keluarga besar Jung. Karena itu, dia memutuskan untuk turun membantu dan bekerja sebagai asisten Jaehyun yang memimpin salah satu anak perusahaan.
Bertahun-tahun bekerja dengan Jaehyun membuat Ten terbiasa dengan ritme lelaki itu. Jaehyun adalah pengusaha yang penuh ambisi. Lelaki itu tidak pernah segan untuk bekerja ekstra. Lembur sudah jadi makanan mereka sehari-hari, apalagi sejak pertunangan Jaehyun dengan perempuan blasteran Jepang-Korea bernama Yuta dibatalkan satu tahun lalu. Diam-diam, Ten mengamati, Jaehyun seperti ingin membenahi kegusaran hatinya dengan terus menyibukkan diri.
"Chittapon." sebuah suara berat menggugah Ten dari lamunan. Hanya satu orang yang memanggilnya dengan nama itu. Ten memutar pandangan dan, benar saja, dia mendapati Jung Yunho berdiri tidak jauh darinya.
"Malam, Paman." Ten menyapa Yunho sambil sedikit membungkukkan tubuhnya ke arah lelaki itu. Usia lelaki itu di pertengahan lima puluh tahun. Dia ayah Jaehyun.
"Jaehyun ada?" Yunho bertanya. Tubuh lelaki itu masih tegap meskipun rambutnya mulai memutih.
"Ada."
Yunho tersenyum penuh arti. "Kalian lembur, ya?"
Ten mengangguk. "Aku baru saja akan memesan makanan. Paman sudah makan malam?"
"Belum. Sekalian pesankan steik untuk Paman," jawab Yunho, kemudian lelaki itu masuk ke ruang kerja anaknya.
***
Ruang kerja Jaehyun terletak di lantai empat NCT Building. Melalui jendela kaca di samping mejanya, Jaehyun bisa melihat lalu lintas semrawut di distrik Jung, yang menjadi salah satu pusat bisnis Seoul, dengan jelas. Barisan mobil dibawah sana tidak ubahnya iring-iringan semut. Dia tahu, lalu lintas semrawut tersebut tidak akan membaik hingga pukul sembilan malam nanti. Makanya, terkadang saat dia sedang tidak berminat bergabung dengan iring-iringan semut di distrik Jung, Jaehyun memilih lembur di kantor sambil menunggu suasana berubah sepi.
"Bagaimana persiapan rapat besok?"
Jaehyun mengalihkan perhatian kepada ayahnya yang baru saja memasuki ruangan. Dia menjawab, "Tidak lama lagi semua materinya selesai. Ayah belum pulang? Tidak ditunggu ibu?"
Ayahnya melepaskan tawa kecil. Lelaki itu menjawab dengan nada bercanda, "Ayah disuruh ibu menemanimu lembur. 'Jangan pulang sebelum Jaehyun pulang,' katanya."
Jaehyun tertawa menanggapi gurauan ayahnya. Lelaki itu berkata lagi, "Sudah baca laporan akhir tahun? Kondisi kita sedang sangat bagus, bukan? Sudah lama tidak sebagus ini."
Jaehyun mengangguk. Benar. Sudah sangat lama kondisi perusahaan mereka tidak sebaik ini. Bulan lalu, perusahaan mereka mengalami kemajuan yang eksponensial dan dia cukup bangga akan hal itu. "Ya. Kita bekerja keras untuk itu," komentarnya.
"Kau yang bekerja keras untuk itu, Jaehyun-ah." ayahnya segera mengoreksi, yang ditanggapi Jaehyun dengan senyuman tipis.
Ayahnya menarik kursi, lalu duduk dihadapannya. Lelaki itu mengeluarkan sebungkus rokok dari balik jas. "Kalau kondisi terus meningkat seperti ini, Ayah pikir kau bisa sedikit lebih santai. Biarkan Ten dan Mingyu terlibat lebih banyak. Mereka cukup kompeten, Jaehyun-ah." Ayahnya berkata sambil menyulut sebatang rokok.
"Akan kupertimbangkan." Jaehyun menjawab seadanya, hanya agar ayahnya tutup mulut dan tidak banyak bertanya.
Ayahnya mendesak. "Pertimbangkan dengan baik. Kau perlu meluangkan waktu lebih banyak untuk ibumu. Juga untuk dirimu sendiri." kalimat terakhir diucapkan ayahnya dengan suara yang lebih dalam, penuh rasa prihatin, seolah-olah lelaki itu sedang mengasihaninya karena bekerja terlalu keras.
Dalam hati, Jaehyun tertawa getir, ikut mengasihani diri sendiri. Dia menjawab, "Akan kuusahakan." tetapi dia tidak bersungguh-sungguh. Kata-katanya barusan cuma basa basi. Walau begitu, dia melihat ayahnya tersenyum puas.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
ORANGE ; Jaedo
Fanfiction[COMPLETED] Originally by Windry Ramadhina _Bagian tersulit saat mencintaimu adalah melihatmu mencintai orang lain_