Intro : Mark

2.4K 344 16
                                    

"Yang benar saja, Mark. Siapa yang mau beli ide semacam ini?"

"Kenapa?" Mark bertanya. "Ide semacam ini sangat umum di Kanada." lelaki itu membela diri.

Kedua temannya, Lucas dan Jeno, tertawa mengejek. "Ini Korea, Bro. Bukan Kanada. Kalau idemu ini kita jadikan iklan, seluruh Korea tidak akan ada yang mengerti," tukas Lucas.

Sudah hampir dua jam mereka berdiskusi di Starbucks. Bermodal laptop, papan tulis, bercangkir-cangkir kopi, dan rokok, ketiganya sibuk membahas desain iklan terbaru mereka. Namun, sampai saat ini, tidak satu idepun mereka sepakati.

Perdebatan mereka berhenti saat Renjun tiba. Gadis itu menghampiri mereka dengan nafas memburu. Renjun menjatuhkan ransel yang dibawanya ke lantai, lalu mengambil tempat duduk disamping Mark sambil meminta maaf berkali-kali atas keterlambatannya.

Lucas melirik Renjun. "Dari mana saja, Renjun-ah? Macet?" tanyanya.

"Ada kuliah tambahan dan aku sudah bolos empat kali, jadi tidak bisa kabur," jawab Renjun.

Renjun berusia lima tahun dibawah Mark, Lucas, dan Jeno. Dia memang belum lulus kuliah. Saat ini, sembari ikut terlibat dalam proyek iklan garapan ketiga lelaki itu, Renjun menjalani semester keenam kuliah advertising di salah satu universitas di Seoul.

"Sudah sampai mana diskusinya?"

"Kami lagi bahas proposal Mark." Jeno menanggapi.

Renjun meraih laptop dihadapan mereka denga antusias, ingin melihat desain yang dibuat oleh Mark. "Wow. Keren, Mark. Simbolisme tingkat tinggi, nih," ujar gadis itu kemudian.

Mark, tentu saja, tersenyum senang menerima tanggapan Renjun. Lelaki itu menatap Lucas dan Jeno penuh arti. "Nah, kan! Renjun mengerti maksudnya, kok."

"Yah... ini kan, Renjun. Calon cumlaude." Lucas tidak terima. "Perdapatku, kita pakai ide Jeno saja. Cukup, kok, untuk menang tender."

Terdengar decakan kesal dari mulut Mark. "Ah! Ini nih, yang membuat advertising Korea tidak maju-maju!" tudingnya dengan nada sinis.

Lucas tidak mau kalah. Dia mencoba menjelaskan, "Kita tidak sedang ikut festival, Mark. Kita sedang cari uang dan aku ragu klien kita akan menerima idemu."

"Kenapa?" Mark mendebat lagi. "Karena mereka tidak mengerti? Iklan itu tidak perlu di mengerti."

Perkataan Mark membuat Lucas menghela nafas, malas meneruskan pembicaraan mereka. Lelaki itu tahu betul tabiat Mark. Saat penyakit idealis Mark sedang kumat, tidak ada gunanya dia mendebat. Buang-buang waktu saja. "Percuma diteruskan." Lucas bergumam dengan kesal.

Suasana hening sejenak. Untuk beberapa saat, tidak ada yang berbicara diantara mereka berempat sampai Jeno mengalihkan perhatian kepada Renjun, lalu berkata, "Renjun, katamu, kau punya storyboard."

Gadis yang ditanya tersenyum lebar sambil mengiakan. Renjun membuka ransel miliknya yang tergeletak di lantai. Dia mengambil sebuah buku sketsa dari dalam tas itu, lalu segera memperlihatkan hasil kerjanya. "Coba kalian lihat. Aku mendapatkan ide ini pada saat-saat terakhir."

Lucas meraih buku sketsa tersebut. Mark dan Jeno merapatkan diri kearah Lucas, lalu mereka bertiga mempelajari storyboard yang dibuat oleh Renjun dengan seksama. Ketiganya terdiam cukup lama, hingga akhirnya Jeno memberi usul.

"Kita pakai ide Renjun. Bagaimana?"

Lucas mengangguk. "Setuju." jawab lelaki itu. Mark tersenyum sependapat.

Melihat reaksi mereka, mau tidak mau, senyum di bibir Renjun mengembang. Gadis itu melepaskan tawa. "Aku hebat juga, ya?" katanya, memancing tawa yang lain.

"Hebat? kau jenius, Renjun." Mark merangkul bahu Renjun dengan gemas, memancing semburat merah di pipi gadis itu.

Semburat merah yang tidak disadari kehadirannya oleh Mark maupun dua pemuda lainnya.

"Oke." lalu, tiba-tiba, Mark bangkit berdiri. "Kalau memang kita sudah sepakat, kalian bisa mulai membuat development design. Aku ke toko buku dulu," kata lelaki itu. Lalu, dia beranjak pergi meninggalkan meja tanpa menunggu jawaban.

Lucas menggeleng-geleng. "Selalu saja," katanya, "begitu kita masuk ke development design, dia tidak mau ikut campur."

Perkataan itu ditanggapi oleh Jeno dengan tawa geli. Dia menimpali, "Itu memang bukan bidangnya. Mark pencetus ide brilian. Itu saja yang dia bisa. Lulusan Kanada memang seperti itu semua."

Sementara itu, Renjun tidak berkomentar apa-apa. Dia memandangi arah kepergian Mark. Semburat merah dipipinya belum hilang dan ada senyum tidak kentara di ujung bibirnya.

Lucas menggerak-gerakkan tangannya didepan wajah Renjun, "Hei, Renjun, lagi mikirin apa?"

"Ha?" Gadis itu terkesiap. "Oh. A-aku berpikir, emm—" dia gelagapan mencari-cari jawaban. "—pasti enak kalau punya banyak uang seperti Mark. Mau kuliah dimanapun, tinggal pilih."

Jeno menyahut, "Mark kuliah dengan beasiswa. Kau tidak tahu, Renjun?"

Dahi Renjun berkerut. Kerikuhannya menguap digantikan perasaan bingung. "Untuk apa anak keluarga Jung kuliah pakai beasiswa?"

"Yah, anak itu kan pemberontak." Lucas memberi penjelasan. "Dia berasal dari keluarga pengusaha, tapi ambil kuliah desain. Orangtuanya jelas tidak setuju. Kalau bukan karena bakat, mana bisa dia kuliah ke luar negeri?"

"Hubungan Mark dengan keluarganya juga terus memburuk. Sudah hampir setengah tahun dia keluar dari rumah." Jeno menyambung.

"Ah, ya. Aku pernah mampir ke flat Mark. Kamar flatmu saja mungkin lebih besar, Renjun," canda Lucas disertai tawa kecil.

"Yang benar?"

"Iya, benar. Tidak akan ada yang menyangka kalau dia berasal dari keluarga Jung."

Jeno ikut tertawa. "Gila memang Jung yang satu itu," katanya.

***

ORANGE ; JaedoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang