Mark berada di apartemen Doyoung. Dia belum beranjak dari tempat itu setelah semalaman menemani Doyoung sepulang mereka dari China Town. Dia bisa memperkirakan bagaimana keluarganya dan keluarga Doyoung bereaksi terhadap keputusan Jaehyun, maka dia menghubungi Ten dan menanyakan situasi.
"Jaehyun dan ibumu masih berada di perpustakaan, tapi kurasa bibi Jaejoong tidak akan bisa membuat kakakmu berubah pikiran," jawab Ten. "Bagaimana keadaan Doyoung? Perempuan itu baik-baik saja?"
"Doyoung?" Mark melirik pintu kamar Doyoung. Pintu itu masih tertutup rapat sejak Doyoung memasuki ruangan tersebut. "Doyoung di kamarnya. Sudah sejak kemarin malam. Mungkin masih tidur." dia memberi tahu.
"Baguslah. Dia membutuhkan itu. Aku dan Minho sedang mempersiapkan konferensi pers untuk mengumumkan hal ini. Begitu media tahu, beberapa hari ke depan akan menjadi hari-hari yang melelahkan untuknya. Tapi, tidak lama. Lalu, semua akan berakhir."
Ten menyudahi pembicaraan mereka. Mark mematikan ponselnya, lalu terdiam. Dia kembali mengawasi pintu kamar Doyoung. Entah apa yang sedang Doyoung lakukan di balik papan kayu tersebut. Tidak ada suara tangisan dari dalam sana. Tidak ada suara apa pun. Karena itu, Mark mengkhawatirkan keadaan Doyoung.
Kemarin, dia menjemput Doyoung tepat pukul lima di China Town seperti permintaan Jaehyun. Dia mendapati perempuan itu meringkuk di salah satu sudut kompleks tua tersebut. Sendiri. Bergeming memeluk erat-erat kamera dan ransel. Ekspresi perempuan itu tidak terbaca.
'Jaehyun membatalkan pertunangan kami, Mark.'
Hanya itu yang Doyoung katakan begitu melihatnya datang. Mark tidak berkata apa pun untuk menanggapi Doyoung. Dia mengambil tempat di sebelah Doyoung, lalu mereka berdiam diri di sana sampai malam tiba. Dia mengantar Doyoung kembali ke apartemen saat udara mulai terasa dingin.
Mark menghampiri kamar Doyoung. Dia mengetuk pintu yang memisahkan mereka dua kali. Dengan suara lembut, dia memanggil perempuan itu. "Doyoung."
Hening beberapa lama, lalu Doyoung menjawab pelan, "Ya?"
"Kau baik-baik saja?" tanya Mark.
"Ya."
"Aku pergi dulu untuk mengurus beberapa hal. Tapi, nanti aku akan datang lagi. Kau ingin kubawakan sesuatu?"
"No, thanks."
Mark mengangguk. "Oke. Telepon aku kalau kau butuh sesuatu." dia menunggu balasan, tetapi kali ini Doyoung tidak menjawab. Mark mengambil semua barang bawaannya. Setelah itu, dia meninggalkan apartemen Doyoung.
***
Seperti apa yang Ten katakan, ketegangan masih mewarnai kediaman keluarga Jung. Jaejoong menghisap rokok di tangan dengan gusar. Sudah hampir satu jam dia ribut dengan Jaehyun di perpustakaan, tetapi kata-katanya tidak sanggup membuat anak tertuanya itu berubah pikiran. Mulutnya melepaskan asap beraroma tembakau ke udara, lalu dia berkata kepada lelaki muda yang duduk di tengah ruangan.
"Kamu tidak bisa melakukan ini kepada ibu, Jaehyun. Keluarga Kim adalah relasi bisnis kita yang paling penting. Pertunangan kalian tidak boleh batal," katanya.
Jaehyun mendesah. "Berapa kali harus aku jelaskan? Aku dan Doyoung tidak saling mencintai."
"Sejak kapan pertunangan kalian butuh cinta? Tanpa itu pun, kalian tidur bersama, kan?" Jaejoong memberi penekanan pada nada bicaranya saat mengungkit kejadian pada malam pertunangan anaknya. "Kamu tahu ini cuma bisnis, Jaehyun."
Jaehyun tertawa getir. Sambil tersenyum pahit, Jaehyun berkata, "Justru karena ini bisnis, aku tidak bisa melakukannya."
"Ada apa ini? Tiba-tiba kamu menjadi sentimental?"
KAMU SEDANG MEMBACA
ORANGE ; Jaedo
Fanfiction[COMPLETED] Originally by Windry Ramadhina _Bagian tersulit saat mencintaimu adalah melihatmu mencintai orang lain_