Their Arrangement -2-

1.9K 285 6
                                    

Barisan mobil didepan Jeep kepunyaan Doyoung seperti tidak terlihat ujungnya. Doyoung mengepal kemudi dengan gemas. Dia melirik jam ditangannya. Kedua alisnya berkerut. Doyoung sadar, dia bisa terlambat untuk menghadiri rapat bersama Johnny dan klien mereka di studio.

Ini salah ibunya. Doyoung mencari kambing hitam. Rencana perjodohan yang ibunya ungkapkan kemarik sore membuat dia tidak bisa tidur semalaman.

Oke, salah dia sendiri, sebenarnya. Mengapa dahulu dia berjanji macam-macam? Aku akan menuruti apapun permintaan ayah dan ibu asal kalian memperbolehkanku kuliah fotografi. Apa pun. Ya? Please. Begitu dia berjanji dahulu. Padahal, dia tidak serius dengan kata-katanya tersebut. Saat itu, dia tidak membayangkan kata-katanya akan dipakai oleh ibunya untuk memaksanya menikah.

Lagi pula, ibunya—juga ayahnya—tidak pernah memaksanya untuk melakukan apa pun. Selama ini, mereka selalu memberinya kebebasan. Dia boleh melakukan semua yang disukainya, tidak peduli itu bertentangan dengan harapan ibu dan ayahnya, tidak peduli itu membuat mereka kecewa. Egois, memang. Jadi, Doyoung berpikir barangkali ini hukuman baginya.

Demi Tuhan, dia menyesal tidak berpikir panjang sebelum membuka mulut. Oh, bukan. Dia menyesal pulang ke Seoul. Seharusnya, dia tidak meninggalkan New York, supaya ibunya tidak punya kesempatan untuk menagih janjinya.

Dering nyaring ponsel di dalam saku jaket membuatnya terlonjak kaget. Dia buru-buru menjawab panggilan yang masuk.

"Kau dimana sekarang?" rupanya Johnny.

"Masih dijalan."

"Apa?" Johnny berteriak histeris, membuat telinga Doyoung sakit. "Yang benar saja! Rapat kita dimulai lima menit lagi, Doyoung!"

"Aku terjebak macet. Mulai saja rapat itu tanpa—" Doyoung tidak sempat menyelesaikan ucapannya. Johnny memutus telepon mereka.

Doyoung mendesah pelan sambil memasukkan ponsel ke saku jaket. Barisan panjang mobil didepannya tidak juga bergerak. Seorang pedagang koran memanfaatkan keadaan tersebut dengan berjualan diantara barisan mobil yang berhenti.

Pedagang itu menghampiri mobil Doyoung, memperlihatkan halaman depan koran. Doyoung tersenyum dari balik kaca jendelanya sambil menggeleng. Memahami isyarat Doyoung, pedagang itu menyimpan koran tadi, lalu ganti mengeluarkan majalah. Dihalaman muka majalah tersebut tertulis:

"Which Woman Could Say No to Jung Jaehyun?"

Doyoung membelalak. Dia segera membuka kaca jendela mobilnya. "Bisa lihat majalahnya?" sang pedagang tersenyum lebar, lalu menyodorkan majalah tersebut kepada Doyoung. "Berapa?" tanya Doyoung. Alih-alih memberikan jawaban, pedagang itu malah mengeluarkan sejumlah majalah lagi. Majalah-majalah berbeda dengan judul serupa.

"Kalau cari berita Jung Jaehyun, ada banyak, nona."

***

Ten menatap berkas yang baru diberikan oleh Minho. Dia mengernyit. Sekretaris Jung Yunho itu tiba-tiba saja menghubunginya untuk mengajak berbicara. Ten tengah menemani Jaehyun menghadiri rapat dengan beberapa rekan dari Singapura di sebuah restoran sushi yang ada di gedung itu. Dia tidak mungkin beranjak, maka Minho yang datang menghampirinya.

"Apa ini?" tanya Ten. Dia dan Minho berdiri di luar restoran, di tepi koridor yang ramai.

"Data calon tunangan Jaehyun," jawab Minho. "Silahkan kau pelajari baik-baik. Aku sudah atur jadwal pertemuan mereka untuk satu bulan ini. Kau pastikan saja semua berjalan lancar." nada bicara lelaki itu datar.

Ten diam. Melalui pintu kaca disampingnya, dia memperhatikan Jaehyun yang berada di dalam restoran. "Jaehyun sudah tahu hal ini?"

"Belum. Nyonya Jaejoong sibuk mengurus banyak hal. Karena itu—" Minho berhenti sejenak. Tersenyum penuh arti kepada lawan bicaranya sebelum melanjutkan, "—kau bisa bantu menyampaikan hal ini kepada Jaehyun." lalu, dia pergi meninggalkan gedung dengan tergesa.

ORANGE ; JaedoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang