Johnny menjatuhkan tubuhnya ke kursi. Dia mendesah melampiaskan frustasi. Puluhan lembar foto berserakan dihadapannya, karya fotografer-fotografer profesional yang dia pekerjakan dan dia bayar mahal. Cukup satu foto saja untuk diajukan dalam proposal besok. Cukup satu, tapi yang dia dapatkan diatas meja kerjanya hari ini hanya tumpukan sampah.
"Ini foto-foto yang terakhir."
Jisoo, asistennya, masuk keruangan sambil membawa foto-foto baru. Tangan Johnny terulur untuk meraih gambar-gambar tersebut. Dia memperhatikan foro-foto itu satu demi satu, tetapi sama saja. Foto pertama tidak terlalu bagus. Foto kedua tidak lebih dari yang pertama. Foto ketiga bahkan lebih buruk. Setelah foto keempat, Johnny malas melihat yang lainnya. Kedua alisnya berkerut mewakili kegelisahannya. Dia bertanya kepada Jisoo, "Foto dari Doyoung?"
"Tidak ada. Aku belum bertemu Doyoung hari ini."
"Doyoung tidak datang ke studio hari ini? Sudah coba dihubungi?"
"Tidak bisa dihubungi."
"Pergi kemana anak itu?"
Jisoo mengangkat kedua bahu, mengisyaratkan ketidaktahuan. Tanpa berkata apa-apa lagi, asistennya itu pergi meninggalkan ruangan, membiarkan Johnny berkutat sendiri dengan kegelisahan.
Pada saat yang sama, Doyoung memarkir mobil Jeep miliknya dengan sembrono di depan pintu masuk studio. Dia keluar dari mobil dengan terburu-buru. Sebelum mengunci pintu, dia menyempatkan diri meraih map plastik dari kursi belakang. Dia berlari kecil menerobos pintu masuk dengan sebelah tangan, sementara tangannya yang lain mengepit erat mapnya.
"Sore, Doyoung. Apa tidak salah, nih? Yang lain sudah mau pulang, tapi kau baru datang," kata resepsionis yang menyambut kehadirannya.
Doyoung memamerkan senyum kucing diwajahnya yang oval. Dia bertanya, "Johnny ada?" Namun, belum sempat resepsionis itu menjawab, terdengar suara tinggi Jisoo dari belakang mereka.
"Ya ampun, Doyoung. Dari mana saja, sih?" Perempuan itu datang menghampiri. "Aku menghubungimu seharian ini, tapi gagal melulu."
"Bisa kujelaskan—"
Jisoo memotong ucapan Doyoung dengan cepat. "Nanti saja penjelasannya. Johnny di ruang kerjanya. Kalau masih ingin karyamu dipakai, sebaiknya segera temui dia!"
"Okay. Thanks," jawab Doyoung. Tanpa menyia-nyiakan waktu lebih lama lagi, dia berlari menuju ruang kerja atasannya di lantai kedua.
***
"I have it with me. I have it, Johnny." Doyoung berseru sambil menyerbu masuk ke ruang kerja Johnny. Tangan perempuan itu menyodorkan beberapa lembar foto kepada Johnny. "Count me in," pintanya setengah memaksa.
Johnny melirik fotorafer juniornya itu dengan tatapan tajam. Seperti biasa, penampilan perempuan itu nyaris seadanya. Kaus, celana jeans, dan rambut dikuncir ekor kuda. Tubuh Doyoung beraroma cairan developer. Berapa lama perempuan itu berada dalam kamar gelap?
"Kau telat, Doyoung." Johnny berkata dengan kesal.
Perempuan bertubuh mungil dihadapan Johnny tersenyum lebar memperlihatkan deretan giginya, senjata yang selalu digunakannya untuk menyelamatkan diri dari kemarahan sang atasan. "Maaf." dia berkata dengan nada menyesal. Namun setelah itu, suaranya kembali antusias. "But... I bet you're gonna love these."
Doyoung menggelar foto-foto yang dia bawa diatas meja. Johnny berusaha untuk tidak peduli, tetapi mau tidak mau pandangannya teralih kearah foto-foto milik Doyoung. Dia memandangi gambar-gambar itu satu per satu dengan seksama. Kedua alisnya berkerut, sementara tangannya terlipat di dada.
Pada akhirnya, Johnny menyerah. Dia mendesah, lalu mengangkat kedua tangan. "Belasan artis, puluhan karya, tetap tidak ada yang sebaik dirimu, Doyoung." dia berkata jujur, membuat sepasang mata Doyoung yang bulat indah menyerupai safir hitam berbinar senang.
Doyoung kembali tersenyum lebar. "So... am I in?" perempuan ini bertanya penuh semangat.
"Ya, kau terpilih." Johnny menjawab malas-malasan. Harus dia akui, terlepas sikapnya yang selalu seenaknya sendiri, Doyoung memang berbakat.
"Terima kasih, bos."
"Ya, ya. Sekarang, jelaskan konsep dasar karyamu ini."
"Nanti." Doyoung bersikap accuh tak acuh. Perempuan itu bersiap-siap untuk pergi. Dia berkata, "Aku harus pergi lagi. Memotret. Cahaya matahari lagi bagus."
Johnny tidak diberi kesempatan untuk membalas. Doyoung menghilang dengan cepat dibalik pintu ruangan. Johnny tertawa maklum. Tangannya meraih cangkir kopi, yang tanpa ia sadari isinya sudah tinggal setengah, sementara pandangannya kembali tertuju pada foto-foto karya Doyoung dihadapannya.
Kim Doyoung. Pertemuan pertamanya dengan perempuan jenius itu terjadi dua tahun lalu di new York. Saat itu, Doyoung masih berstatus mahasiswa jurusan fotografi ikut serta dalam sebuah pameran foto. Kali pertama Johnny melihat karya amatir Doyoung, dia langsung menyadari bakat perempuan itu. Tentu saja dia tidak membiarkan bakat sebesar itu melintas pergi dari depan matanya. Dia mengajak Doyoung bergabung di studionya segera setelah perempuan itu kembali ke Korea. Terhitung hingga hari ini, Doyoung sudah setengah tahun bekerja dengannya.
Namun, ada satu hal yang tidak dia mengerti mengenai Doyoung. Dengan bakat sebesar itu dan dukungan dana—yang tentu saja bukan masalah besar jika mengingat kekayaan keluarga Kim—sebenarnya Doyoung bisa mendirikan sebuah studio yang dapat diperhitungkan di Asia. Johnny pernah menanyakan soal ini kepada Doyoung dan jawaban perempuan itu benar-benar tak terduga.
'Memangnya kalau aku berminat, kau rela melepaskanku?'
Senyum Johnny tersimpul tipis sangat mengingat kembali perkataan Doyoung. Dia juga masih ingat perkataan perempuan itu selanjutnya.
'Aku suka fotografi, Johnny. That simple. Selama aku bisa berkarya, dimanapun tempatnya, buatku tidak jadi soal.'
***
KAMU SEDANG MEMBACA
ORANGE ; Jaedo
Hayran Kurgu[COMPLETED] Originally by Windry Ramadhina _Bagian tersulit saat mencintaimu adalah melihatmu mencintai orang lain_