---
LDR yang berhasil itu bukan cuma takdir yang menentukan. Tapi lakon juga ikut andil
---Tunggu-tunggu! Siapa orang yang menarikku? Bodoh! Aku memang bodoh. Terlalu takutnya aku berlari sampai melupakan siapa yang mengajakku berlari. Bagaimana jika salah satu dari komplotan tadi?.
Aku memelankan kecepatan lariku sambil berancang-ancang untuk melarikan diri jika orang ini salah satu komplotan mereka. Baju mereka sama-sama hitam. Jika orang ini salah satu komplotan tadi, maka rencana mereka sangat bagus bukan?.
Sialnya sampai sekarang aku belum bisa melihat orang ini. Ia terfokus menatap ke arah depan dan aku hanya bisa melihatnya dari belakang karena aku dibelakangnya, tentu saja.
Aku mencoba melonggarkan genggaman tangan orang itu. Jelas saja aku takut saat ini. Sepertinya orang itu merasa jika aku berusaha melepaskan diri. Oh Tuhan, bantu aku!.
Aku harus bagaimana saat ini? Sekarang tempatnya lebih sepi dari tempat tadi. Dan orang itu memalingkan wajahnya. Tidak. Aku tidak siap. Aku terlalu takut. Bahkan aku sekarang tidak melihat apapun.
Bukan. Aku tidak pingsan. Aku memejamkan mataku. Terlalu takut dengan kejadian selanjutnya yang mungkin terjadi sambil berusaha menemukan cara tercepat yang harus kulakukan jika orang yang bersamaku salah satu komplotan mereka.
Tapi tidak ada yang terjadi. Telapak itu masih melingkari pergelangan tanganku. Perlahan, aku mulai membuka mataku dengan penuh waspada.
Tunggu. Kenapa malah orang ini?. Kenapa dia bisa ada disini?. Kenapa juga dia menarikku berlari?.
"Ehmm..," ucapku sebagai isyarat agar orang tersebut melonggarkan genggaman tangannya. Aku bisa melihat sedikit kecanggungan dari matanya.
"Kamu tidak apa-apa?," tanyanya.
Aku mengangguk canggung.
"Kenapa bisa malam-malam disini?,"
Heol. Apa pedulinya memang?.
"Saya habis mencari buku untuk tinjauan pustaka Pak!," ucapku akhirnya.
"Sendirian? Gak sama temen?,". Aku menggeleng sebagai jawaban.
"Lain kali, kalo misal pulang malem minta ditemenin. Kota ini memang terkenal ramai tapi tetap saja kamu butuh teman. Sedang marak penculikan," ucapnya lagi.
"Iya pak, terimakasih sudah membantu saya,"
Heol. Memanggilnya dengan panggilan pak memang sedikit canggung. Apalagi aku sudah tahu dia adalah salah satu teman bang Ivan. Bukankah artinya selisih usia mereka tidak terlalu jauh?.
Sejauh ini, kalian tahu siapa yang kuceritakan, bukan?.
"Mau pulang naik apa?," tanyanya.
Aku diam sambil berpikir. Bingung juga akan pulang naik apa.
"Bareng saya saja. Anggap saja ucapan terimakasih atas bantuan kamu tadi pagi," ucapnya lagi.
Aku hanya mengikuti saja. Setidaknya aku bisa percaya dia bukan?. Ada tameng bang Ivan yang bisa kugunakan.
Sepanjang perjalanan aku bisa mendengar alunan musik klasik yang mengalir dari speaker mobil. Apa dia tipe orang yang membosankan? Sepanjang perjalanan kami hanya diam. Aku yang berniat bermain dengan ponselku, sialnya malah habis dayanya. Ah, bukankah tadi aku membeli buku komedi?. Sepertinya bukan hal buruk jika aku membacanya, daripada aku gabut!.
Sepertinya membaca genre komedi bukan pilihan yang bagus dalam suasana seperti ini. Ya, aku harus menahan tertawa. Bukankah aneh rasanya?.
Kruuuukk.. kriiiuuk...
KAMU SEDANG MEMBACA
DNA
ChickLit"Lo yakin bisa setia sama gue?" "Lo ngga yakin sama gue?," "Kunci hubungan sukses itu bukan ketemu, jalan, atau main setiap hari. Tapi komunikasi dan kepercayaan" "Jangan khawatir, Tak satu pun dari ini adalah sebuah kebetulan. Kita sangat berbeda...