21

175 22 18
                                    


Setelah memutuskan tempat selanjutnya kami menggunakan taksi online dengan tujuan kampusku. Bahkan tempat itu tercetus ketika aku sadar meninggalkan janji dengan Glen dan Citra tadi. Aku masih mengamati wajah manusia yang duduk di sampingku. Berpikir apakah beberapa kejadian yang lalu hingga saat ini hanyalah mimpi saja atau memang nyata. Tapi kalaupun nyata, bukankah terlalu tiba-tiba. Bahkan Ia tadi pagi masih berada di kota Sriwijaya.

"Ini asli. Gue disini," aku tersentak saat tangannya menggenggam tanganku. Sepertinya Ia menyadari hal yang sedari tadi mengganggu akalku.

"Lo utang penjelasan sama gue!," tambahku.

"Iya. Nanti lo bisa tanya sepuasnya, tapi ada imbalannya!,". Aku mengernyit bertanya tentang imbalan yang Ia maksud.

"Iya, selama gue disini lo temenin gue ya!," ucapnya manja. Bahkan kini kepalanya sudah bersandar di bahuku. Apa Ia tidak sadar bahkan tubuhnya lebih besar dibandingkan tubuhku.

Aku melihat lingkungan sekitar yang sudah memasuki area kampusku. Uang yang diberikan Radit sebagai ongkos perjalanan kami ku cegah. Tidak lucu kan, dia berada di area kampusku tapi dia yang membayar. Aku bisa melihat tatapan tidak sukanya dari apa yang kulakukan barusan.

"Kenapa lo yang bayar si? Kan gue yang pesen! Kenapa juga harus ke kampus padahal banyak tempat lain yang bisa dikunjungi," omelnya. Aku memutar bola mataku menatap jengah ke arah Radit. Bagaimana bisa manusia cool seperti dia bisa mendadak seperti ibu yang kurang uang belanja.

"Oh, gentle man!," ledekku sambil menggamit telapak tangannya. Tidak lucu jika aku memberinya kecupan pipi di tengah kampus yang memang sudah tidak begitu ramai, tapi tetap saja kurang etis.

Sepanjang perjalanan menuju area kantin, aku bisa melihat beberapa pasang mata menatap tanya kepada Radit. Mungkin mereka bertanya tentang siapa laki-laki yang sedang berjalan bersamaku.

"Ngga usah tebar pesona!," ancamku sambil berbisik.

"Ngapain tebar pesona. Gak ditebar aja lo udah jatuh cinta!," balasnya.

"Sejak kapan jadi kaya gini sih?," cicitku,

"Tau ngga? Lo kalo cemburu tuh tambah lucu tau ngga?," Ia meledek dan berakhir kutinggalkan di belakang. Tapi aku sadar bahkan kecepatan jalannya saja lebih cepat dariku.

"Lo yakin ninggalin gue? Ntar gue diambil temen lo gimana?," tanyanya setelah berhasil menyejajarkan langkahnya.

"Udah deh jangan cemberut gitu. Ga mau jadi tontonan gara-gara gue peluk kan, sayang?," tanyanya usil. Aku bisa melihat tangannya membuka hampir merengkuhku.

"Diit.. ini kampus!," kecamku.

"Berarti kalau di luar kampus boleh?,"

"Wah ga waras lo sekarang!," balasku kesal.

Aku masih berjalan berdampingan dengan Radit. Oh tenang saja, genggaman tangan kami sudah kulepas sejak tadi, Ia pun tidak keberatan. Sepertinya Radit mengerti situasi dan tempat. Kami berhenti tepat ketika di area pintu kantin fakultas. Dari kejauhan aku bisa melihat Glen sudah mengarahkan tangannya kepada kami, sepertinya Ia juga memberi isyarat penanda bagi Citra tentang keberadaanku.

"Waah.. lo ngilang, sekali balik dah ada pasangan ya! Lo gak tau kita nunggu lo hampir mati kelaparan, gilmppp--," semprot Glen yang segera dibekap oleh Citra. Sepertinya Ia terlalu malu untuk mengakui bahwa Glen sedang bersamanya.

"Sorry deh! Tadi gue nonton film dulu, terus pas makan malah disamperin dia,", jelasku,

"Parah emang lo. Gue kira lo disuruh nemuin Pak Mario malah nonton film segala!," sewot Glen lagi. Baru saja Ia hendak menambah suara langsung gagal setelah melihat ancaman mata dari Citra. Lucu memang melihat mereka berdua.

DNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang