18

917 74 17
                                    

Aku masih menahan napas untuk beberapa saat. Terlalu takut untuk menghembuskannya. Bisakah aku cepat sampai di tempat tujuanku?. Rasanya benar-benar tidak nyaman dalam posisi ini.

"Pelan-pel...,"

"Awww!," belum sempat Pak Mario menyelesaikan ucapannya sudah kupotong dengan teriakanku barusan.
"Saya baru ngomong belum selese!," sinisnya sambil memapahku ke arah ruang tamu rumah Bu Siti.

"Vaaaaal.. Lo kenapa?," Glen berteriak nyaring begitu melihatku. Sepertinya teriakannya mengundang perhatian seisi rumah.

"Loh kenapa nduk?,"

"Kenapa Val?," kali ini kakak tingkatku yang bersuara.

Aku menjawab dengan gestur menggaruk tengkuk yang sebenarnya tidak gatal. Aku bahkan bingung hendak menjawab bagaimana.

"Ampuuuun! Kok kaki lo biru gitu?," Glen lagi-lagi bersuara. Aku mencoba mengamati kakiku. Benar saja pergelangannya membiru bahkan ada beberapa luka lecet berbentuk sayatan. Kapan aku mengenai sesuatu? Kenapa tiba-tiba seperti ini?.

"Bentar, tak ambilke obat merah!," Bu Siti segera berjalan mencari larutan povidine iodine, sepertinya.

Secara cepat mereka langsung mengerubungiku. Ah, tidak dengan Pak Mario. Bahkan beliau entah dimana padahal aku belum mengucapkan terimakasih. Ya, setidaknya aku harus berterimakasih bukan karena beliau sudah menolongku?.

"Lo darimana aja sih Val? Ga bilang lagi kalo mau pergi. Kena tulah kan lo! Makanya kalo pergi tuh bilang dulu, ngajak gue. Gimana si? Lo bilang kita temen?!..,"

"Glen.. Jangan cerewet! Lo bukan perempuan!,"

Perkataanku barusan berhasil membuatnya diam seketika. Ah aku lupa, Glen salah satu tipe orang yang perasa. Kalau tadi aku salah bicara, bisa-bisa dia diam tak bersuara.

"Maksud gue.. Jangan kebanyakan tanya dong. Gue kesakitan nih. Lo ga mau bantu gue?" tanyaku segera. Aku berusaha mengembalikan moodnya.

Ekspresinya perlahan kembali. Dasar makhluk 4 dimensi!.

"Lagian si lo kenapa pergi ga ajak gue si?!," dia mulai lagi.

"Lah lo tadi ga tau kemana!," balasku akhirnya.

"Iya si, tadi gue disuruh nyicipin jajanan buatan Bu Siti pas abis minum," dasar anak polos.

"Jadi siapa yang ninggalin gue? Lo ga tau gue tadi awkward gitu sama dosen lo itu?!,"

"Kalo awkward kenapa lo pergi sama dia?,"

Benar juga pertanyaan Glen. Kenapa juga aku mau pergi sama Pak Mario ya?. Kenapa ga ajak Glen aja?.

"Tadi tuh orang bilang mau nemenin gue nyari sinyal. Ya udah gue mau-mau aja. Lagian kalo perginya sama lo, lo ga tau jalan!," Dia mengangguk membenarkan ucapanku barusan lalu berlalu meninggalkanku.

Tak lama dia kembali dengan muka berbinar, ada apa?.

"Vaal.. Ke depan yuk!," ucapnya sambil menarik pergelangan tanganku. Sepertinya Ia lupa dengan apa yang terjadi padaku barusan.

"Aww!" teriakku.

"Eh.. Sorry gue lupa!," ucapnya lagi.

"Mau ngapain si?,"

"Didepan ada api unggun sama kembang api,"

"Ini bulan apa emang? Kayanya ga mau lebaran, ga lagi puasa, ga tahun baru juga"

Dia mengangkat bahunya dan tetap menarikku, kali ini lebih pelan. Benar saja di depan telah berkumpul anak-anak sepantaran SD-SMP akhir sepertinya. Aku memilih untuk duduk bersandar di teras melihat dari kejauhan anak-anak itu bermain.

DNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang