19

792 78 15
                                    

"Kamu kenapa?," tanyanya tanpa bersalah.

Aku belum berani membuka mata sama sekali. Posisi kami cukup dekat.

Klik.

Aku bisa mendengar suara itu dari arah kunci sabuk pengaman. Dan perlahan aroma itu tidak sekuat awalnya. Ah ku pikir dia sudah kembali ke posisinya.

"Jangan berpikir yang tidak-tidak!," sindirnya.

"Yaa.. Siapa juga yang berpikir kaya gitu," balasku keras.

"Kalo kamu ga berpikir apa-apa kenapa tutup mata?," skaknya. Ya dipikir lah Pak Dosen, posisi kita dekat, mana tau ada setan lewat.

"Ya kan.. Maksudnya.. Mm..," aku mencoba berkilah. Sial!. Tidak ada alasan yang dapat kugunakan saat ini. Otakku benar-benar buntu sesaat.

"Apa?," tantangnya.

"Ah tau ah, saya cape!," ucapku akhirnya. Dia melihat sekilas lalu kembali fokus ke jalanan lagi.

Ternyata perjalanan naik mobil tidak terlalu baik pula. Macet membuatku berkali-kali istighfar dan kadang keceplosan menyumpahserapahi orang-orang yang tidak tahu aturan. Ah tentu saja setelah puas menyumpahserapah akan langsung dibalas dengan siraman rohani lebih kearah menggurui dari makhluk satu disampingku.

-

Halaman rumah sudah terlihat ramai. Beberapa orang yang ku kenal sedang sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Sepertinya bukan waktu yang tepat kalau aku harus berteriak "Aku pulaaang", sebuah kalimat yang biasa kuucapkan setelah salam sebagai pertanda aku sudah sampai di rumah.
Aku masuk ke dalam tanpa mempedulikan Pak Mario yang sepertinya masih mencari tempat parkir bagi mobilnya. Biar saja, paling nanti bang Ivan yang akan menjemputnya langsung dari parkiran. Bukankah mereka sahabat?.
"Loh dek udah balik?," tanya Mama ketika melihatku mendekat ke arahnya.

"Iya Ma, baru aja nyampe..,"

"Jadinya sama siapa? Maaf ya ga ada yang bisa jemput kamu..,"

"Gapapa Ma. Aku balik sama dosenku yang temennya bang Ivan..," ucapku sambil ikut menyibukkan diri dengan beberapa barang souvenir yang sepertinya sedang di sortir oleh Mama.

"Loh mana dosennya? Ga kamu suruh masuk?,"

Mati aku. Kalau begini bisa-bisa aku kena omel Mama karena berlaku tidak sopan.

"Tadi Valen buru-buru Ma.. Mm.. Kebelet pipis" bohongku.

"Terus sekarang dimana?,"

Aku menggeleng tidak tahu. Terakhir kali aku tahu dia sedang mencari parkiran, sekarang entahlah.

"Maa... Ini Mario...," suara bang Ivan memecah obrolan di antara kami. Aku bisa melihat Pak Mario dengan ekspresi datarnya ke arahku dan sepersekian detik berikutnya langsung tersenyum ke arah Mama. Cih. Dasar pencitraan!.

"Haloo. Terimakasih ya udah mau nganter Valen,"

Yah Mama, dikira Pak Mario abang ojol kali ya. Haha.

"Iya Tante, lagian sekalian menghadiri pernikahan Ivan," ucap Pak Mario, aku tahu itu adalah penjelasan bahwa Ia bukan abang ojol pesanan.

"Ya udah istirahat aja dulu. Sudah makan?,"

"Belum Ma..," aku bersuara.

"Ya udah kalau gitu, ajak dosenmu sekalian,"

Males banget ya?.

"Pak Mario biar sama Bang Ivan aja, biar saling melepas rindu," ucapku memberi alasan.

"Kalian bertiga makan aja dulu," perintah Mama akhirnya.

DNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang